Oleh Shouhui
Zhao
Pengantar
Perencanaan dan
kebijakan bahasa (LPP) dipelopori oleh kerangka Haugen tahun 1966 dicirikan
dengan model matrik dua dimensi empat kategori dengan dikotomi perencanaan
status berbanding korpus. Bahasa dapat direncanakan melalui kebijakan amanat
bangsa dengan fokus spesial pada perubahan bentuk bahasa (misalnya, kodifikasi
seperti pengrafikan, penataan bahasa dan pembentukan kata/leksikon) untuk
perencanaan korpus, dan fokus pada fungsi pengolahan (misalnya, modernisasi
istilah, pengembangan gaya bahasa) untuk perencanaan status.
Perkembangan
selanjutnya di awal 1990an, dua dimensi tambahan pada kerangka LPP. Pertama
adalah pemerolehan bahasa Cooper (1989) atau dimensi perencanaan bahasa dalam
pendidikan yang mengembangkan fokus LPP dengan memasukkan pembelajaran dan
pengajaran bahasa. Ini diikuti oleh perencanaan wibawa Haarmann (1990), yang
sangat signifikan pada saat dia menguji penerapan LPP dari perspektif penerima
dan menyatakan bahwa keberterimaan produk LPP dan sikap penerima terhadap
produk adalah pertimbangan penting, memberikan peningkatan ke arah yang lebih
mendasar, tapi faktor yang kurang jelas di LPP - aspek psikologi dan tindakan
manusia dibutuhkan untuk mencapai hasil perencanaan yang diinginkan.
Kaplan dan baldauf
(2003) menyarakan dua dimensi lainnya yang dibutuhkan untuk menguji tujuan dan
pendekatan LPP, yaitu kegiatan perencanaan dapat jelas atau tidak (eksplisit
atau implisit) dan dapat terjadi pada rangkaian kesatuan yang ditandai oleh
tiga tingkatan: makro, meso dan mikro. Agen perorangan bisa jadi perspektif
yang bermanfaat untuk menyelidiki dampak perencana bahasa pada efektifitas LPP.
Asal
Usul dan Kategorisasi Aktor: Menuju Agen Individu
Walaupun menjadi
salah satu bidang utama penelitian LPP dalam kaitannya pemastian kesuksesan
perencanaan bahasa, aktor sebelumnya hanya mendapatkan perhatian sporadis oleh
peneliti, ketika bidang ini mulai mempunyai bentuk. Usaha serius di awal mula
munculnya isu aktor dimulai dari sekumpulan artikel oleh Rubin dkk tahun 1977.
Isu yang dibawa adalah Hebrew Academy dan Perencanaan Bahasa di India
yang berkenaan dengan peran, sikap kerja dan tugas yang ditemuka di berbagai
organisasi LPP dibawah pemerintah, kualifikasi pendidikan dan latar belakang
individu organisasi. Baldauf (1982) adalah salah satu cendikiawan yang menandai
pentingnya aktor dalam karyanya tentang American Samoa. Cooper (1989)
melakukan usaha serius pertama untuk melihat aktor dari perspektif perorangan.
Meminjam konsep dari pembuat kebijakan dalam ilmu politik, dia membedakan 3
bagian aktor:
·
Para elit formal yang mempunyai kekuasaan untuk membuat
kebijakan - presiden, pemerintah, senator, wakil kongres, kepala eksekutif
pelaksana, kepala sekolah, guru dan seterusnya;
·
Orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat yang mempunyai
ketertarikan dalam kebijakan dan melakukan yang terbaik untuk mempengaruhi
pembentukan kebijakan.
·
Pihak berwenang:
pihak pembuat kebijakan.
Ricento dan
Hornberger (1996) membandingkan LPP ke tiga lapisan - nasional/makro (penentu
utama), institusional (sekolah, LSM, media, lembaga), dan interpersonal -
mendiskusikan tingkat dimana lapisan tersebut terlibat dalam perkembangan dan
penerapan LPP.
Mendiskusikan
bagaimana LPP berhubungan secara umum dengan perencanaan pemerintah, Kaplan dan
Baldauf (1997) melihat LPP sebagai subkateogri dari perencanaan pengembangan
SDM. Mereka membagi aktor menjadi empat kategori, yaitu agen pemerintah, agen
pendidikan, organisasi non pemerintah dan organisasi lainnya yang naturalnya
dari atas ke bawah (top-down). Cooper (1989) menjumlah dua belas
pengertan LPP yang dijelaskan kembali oleh Grin (2003) sebagai sistematis,
rasional, usaha berbasis teori pada tingkat masyarakat untuk merubah lingkungan
linguistik dengan pandangan untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini biasanya
dilakukan oleh badan resmi atau sepadan dan ditujukan untuk sebagian atau
seluruh populasi yang berada di wilayah hukum mereka.
Sejak tahun 1990,
model dominan literatur penelitian LPP telah ditentang ketika peneliti LPP
mulai menguji penerapan LPP dari perspektif penerima. Shingga tahun 1989 Cooper
mendefinisikan perencanaan bahasa sebagai usaha cermat untuk mempengaruhi
tindakan lainnya mengenai pemerolehan, susunan, atau alokasi fungsional dari
kode bahasa mereka.
Ager (2001)
mengidentifikasi tiga kategori aktor utama dalam pembentukan kebijakan:
perorangan sebagai penguasa yang kuat dan pemimpin opini, kelompok elit, dan
negara. Van Els (2005) mengamati bahwa dalam pemebntukan kebijakan pengajaran
dan pembelajaran bahasa kedua nasional, daripada otoritas sekolah, otoritas
wilayah dan atau lokal, inspektorat sekolah, dan pemerintah nasional, agen
penentu keputusan paling jelas adalah siswa, orang tua atau pengasuh, dan guru.
Liddicoat dan Baldauf (2008) menyatakan bahwa tidak ada kebijakan makro dapat
diberlakukan langsung dan tanpa perubahan ke konteks lokal. Orang-orang yang
termasuk dalam tingkat mikro meliputi:
·
Perorangan yang bekerja untuk menghidupkan kembali atau
mempromosikan penggunaan bahasa;
·
Organisasi bahasa yang berperan penting pada LPP lokal untuk
komunitas kecil;
·
Institusi resmi, yang tidak seharusnya di bidang bahasa; dan
·
Kelompok pendidikan komunitas, yang mungkin berperan
penting.
Peran
Aktor dalam Penerapan Tujuan Perencanaan Bahasa
Zhao dan Baldauf
(2008) mengkategorikan agen aktor ke dalam empat tipe:
1.
Orang dengan kekuasaan. Orang-orang yang menjabat di
kedinasan. Pengaruh mereka pada tubuh LPP dari kekuaatan hukum, secara resmi
atau de facto.
2.
Orang dengan keahlian (ahli linguistik dan linguistik
terapan, ilmuwan, ara ahli, dan orang-ornag yang sangat profesional di bidang
mereka, yang ikut serta dalam LPP.
3.
Orang yang berpengaruh (elit sosial, cendikiawan, ilmuwan
yang tidak berhubungan dengan LPP, penulis terkenal, pemimpin agama, pebisnis,
seniman, pengacara HAM, atau kelompok ad hoc dan seterusnya.
4.
Orang yang berkepentingan (masyarakat kalangan umum yang
secara tidak langsung ikut serta dalam pengambilan keputusan penggunaan
bahasa).
Zhao dan Baldauf
(2008) membentuk lima tingkat langkah sejajar untuk mencapai tujuan perencanaan,
yang dinamai I-5.
1.
Inisiasi. Masalah harus ditampakkan dan politikus percaya
bahwa masalah membutuhkan perhatian dan berharga untuk diatasi. LPP bertujuan
untuk meluruskan permasalahan bahasa dengan kepentingan politik.
2.
Keikutsertaan. Sejalan dengan perencanaan korpus haugen
(1983) keikutsertaan berarti partisipasi dalam langkah kodifikasi dan
penjabaran.
3.
Pengaruh. Tahap ini berhubungan dengan perencanaan wibawa
Haarmann (1990). Wibawa sebelunya tidak menekankan tahapan, merupakan tahap
mandiri dari keempat tahap karena tidak berdasarkan aktivitas di lingkup
perencanaan korpus dan status. Di dalam perencanaan, wibawa bergerak sendiri.
4.
Campur tangan. Ini terjadi ketika perencanaan membelok dari
wacana atau ketidaksesuaian selama penerapan, baik penyesuaian positif karena
masalah yang muncul membutuhkan mediasi, atau negatif karena campur tangan
politik.
5.
Penerapan. Tahapan eksekusi dari keputusan dilabeli
perencanaan status dan pengolahan bahasa di dalam kerangka Haugen (1983). Tahap
penerapan lebih cenderung dengan prses daripada pengambilan keputusan.
Tahapan tersebut
tidak mempunyai batasan yang jelas ataupun membutuhkan alur logika menimabng
situasi terkini tidaklah selalu sama dan statis.
Aktor
di Empat komponen klasik LPP
Model I-5 mengenalkan
kategori baru untuk aktor dan komponen LPP, paparan berikut fokus pada elemen
aktor menggambarkan bagaiman keempat aktor saling bekerja dengan komponen
klasik, yaitu perencanaan status, perencanaan korpus, perencanaan pemerolehan
dan perencanaan wibawa, dengan tujuan mengidentifikasi pola atau tendensi
spesifik ke kelompok tersebut.
Aktor
di Perencanaan Status
Ketika sebuah negara
baru merdeka, para pencetus melakukan perencanaan status (inisiasi) untuk
menentukan bahasa sebagai sistem komunikasi terpusat. Isu bahasa banyak
didiskusikan dan diperdebatkan oleh orang-orang berpengaruh dan berkeahlian.
Baldauf dan Kaplan (2003) menunjukkan kasus Jepang yang memperlihatkan betapa
beresikonya perubahan tanpa konsultasi dengan para ahli. Kebijakan bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua resmi Jepang ditinggalkan ketika Keizo Obuchi
meninggal di tahun 2000 karena ketiadaan peran ahli bahasa di dalamnya.
Aktor
dalam Perencanaan Korpus
Perencanaan korpus
utamanya berkenaan dengan linguistik dan bagian dalam bahasa sehingga
membutuhkan keahlian teknis yang secara eklusif diisi oleh ahli bahasa terapan
dan para professional LPP, walapun tidak menutup kemungkinan para pemangku
kepentingan juga terlibat didalamnya. Seperti misalnya pada penyederhanaan
huruf China (324 huruf) oleh pemerintahan partai nasional.
Aktor
di Perencanaan Bahasa dalam Pendidikan
Kaplan dan Baldauf
(2003) percaya bahwa delapan proses kebijakan adalah elemen kunci kesuksesan
penerapan program bahasa. Proses tersebut adalah kebijakan akses, kebijakan
personal, kebijakan kurikulum, kebijakan bahan dan metode, kebijakan sumber
daya, kebijakan komunitas, kebijakan evaluasi, dan kebijakan guru.
Pendidikan bahasa adalah domain yang paling
rentan untuk perencanaan, dimana guru adalah produk kebijakan dan siswa sebagai
penerima paket tersebut. Haugen (1983) mengatakan bahwa sepanjang kelompok elit
dapat memonopoli pendidikan, penerapan menjadi relatif mudah. Pemangku
kepentingan dalam pendidikan bahasa adalah otoritas pendidikan, pegawai
pendidikan, ahli pengembang kurikulum, dan ahli linguistik pendidikan. Inovasi
dalam pedagogi dan pembelajaran beberapa bahasa menjadi pertimbangan kedua
dalam perencanaan bahasa dalam pendidikan. Guru dan pemerintah lokal diberikan
otonomi untuk dapat menjadi peserta yang aktif. Pengajaran luar sekolah dapat
berperan dalam tujuan kerjasama (perekanan), promosi, dan komersial, khususnya
dalam kebijakan akses. Contoh dari Cooper (1989) ketika mentri Israel
menghilangkan Bahasa Inggris dari kurikulum di tiga tingkat pertama sekolah
dasar karena dapat ditalangi oleh pengajaran non-mainstream sekolah,
kebijakan diserahkan kepada orang tua. Penyebab lainnya adalah karena
ketidakcukupan finansial. Akan tetapi, orangtua percaya bahwa kebutuhan untuk
menguasai bahasa Inggris di pendidikan tinggi sangatlah penting, sehingga
mereka meminta adanya pengajaran Bahasa Inggris di tingkat bawah.
Kebijakan akses
dibuat oleh pemerintah atau bagian pendidikannya untuk mencukupi kebutuhan
sosial, ekonomi, dan politik. Namun, dalam beberapa kondisi, orang-orang dengan
kepentingan dapat terlibat dalam kebijakan seperti yang dijelaskn Pakir (1994)
yang disebut perencana tak terlihat (invisible planners) di Singapura.
Hilangnya sekolah menengah Cina di Singapura adalah hasil keputusan invisble
planners. Pemerintah Singapura mengumumkan pembentukan sekolah berbasis
Cina jika memang ada permintaan yang memadai.
Aktor
di Perencanaan Wibawa
Berdasarkan Teori
Percontohan Bem (1970), tindakan linguistik mewakili penduduk yang berpengaruh
dan elit sosial berfungsi sebagai titik acuan seluruh masyarakat. Gaya
berbahasa yang dipraktikkan oleh tokoh publik menciptakan model berstatus
tinggi yang akan diikuti, sehingga menghasilkan peniruan spontan dan
penyebarluasan yang cepat. Kaplan dan Baldauf (2003) mencatat ada di Indonesia
bahwa penggunaan bahasa kreatif dari orang yang paling karismatik, Sukarno,
membentuk norma penggunaan berterima untuk bahasa nasional.
Issu Utama Aktor:
Konflik antara Aktor dan yang Terlibat
Aktor dapat berperan
di tingkat makro, meso, dan mikro secara terselubung atau terbuka. Konflik yang
terjadi antara aktor dan orang-orang yang terlibat adalah hal yang lumrah dalam
kegiatan LPP. Bahkan, usaha LPP biasany dimulai karena adanya konflik sehingga
memaksa perencanaan bahasa. Fishman (2973) menekankan bahwa perencanaan bahasa
menjadi lebih sulit karena menyangkut nilai kemanusiaan, emosi, dan kebiasaan
dibandingkan dengan perencanaan komoditas ekonomi misalnya.
Konflik
diatara Aktor
Konflik antar aktor
seringkali didasarkan pada kepentingan fraksi/kelompok/partai politik yang
kadangkala sampai ke tindakan anarki. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
anggota legislatif yang ikut serta dalam menentukan kebijakan mengedepankan
kepentingan fraksi baik secara wilayah maupun ekonomi.
Tensi
Hubungan antara Perencana dan Pengguna
Tensi hubungan antar
perencana dan pengguna bisa mengarah ke bencana sosia ketika isu SARA ikut
serta. Contohnya pergerakan anti-Hindi yang mengakibatkan peristiwa berdarah
dalam konflik perencanaan bahasa. Lainnya, kesalahan dalam kebijakan bahasa Udu
di Bengali 1952 yang mengakibatkan perpecahan negara menjadi Pakistan dan Bangladesh.
Konflik yang terjadi
antara aktor dan populasi target karena adanya pemurnian bahasa. Banyak contoh
kasus yang menunjukkan kekurang toleranan terhadap variasi bahasa atau usaha
yang berlebihan dalam konteks kultural dan sosial yang kompleks dan tajam. Salah
satu bentuk konflik ekstrem antara aktor dan pengguna adalah tuntutan bahasa
melalui hukuman fisik dan penghinaan publik. Yang akhirnya menyebabkan
penghilangan bahasa lokal di sekolah. Tiga kasus yang diakibatkan dari konflik
aktor dan pengguna adalah bahasa Inggris “Welsh Not”, Bahasa Cina “Dunce
Board” dan Bahasa Spanyol “Basque Stick”. Di “Welsh Not” and
“Dunce Board”, anak-anak yang menggunakan bahasa terlarang tersebut
dihukum dengan mengenakan papan yang dikalungkan di leher.
Tensi
Hubungan antara Perencana dan Klien
Tanggungjawab aktor
adalah menjelaskan penyelesaian terbaik untuk mencapai tujuan perencanaan,
sedangkan tanggungjawab klien (untuk siapa perencana bekerja) adalah menerapkan
penyelesaian ini. Bentuk lain dari tensi hubungan adalah yang dijelaskan Kaplan
dan Baldauf (1997) yang disebut dnegan “abuse of agency” – agency
merujuk klien. Informasi “yang tidak diinginkan” seringkali dipinggirkan atau
dihilangkan di banyak kasus otoritas sebenarnya tidak mau saran mandiri sesuai
dengan analisis cermat situasi/adat, jika hasil dari analisis tersebut tidak
sesuai dengan gagasa prasangka tentang
situasi bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar