Jumat, 24 April 2020

My Perspectives on using Technology in Teaching and Learning

Library of computer in school vector freeuse library png files ...


Teaching and learning nowadays cannot be separated from technology. It has become worthy compatriot for face to face (f2f) pedagogy since many advantages are derived from it. Students are having wide space to develop their understanding of the materials. Students are able to choose different exercises from abundant online sources. Students deliberately gain diverse knowledge that may different from one to another. Students can learn without being hindered by time and space. Teacher can save energy to other activities. Applying technology in learning means giving more opportunities for students to develop their understanding by themselves. The worthy time of learning happen when they individually or in groups doing the activities.

Teacher as a facilitator, providing assistance to drive the students on the right track. By giving instruction toward what the students should do and how to use the technology, whether certain platform or guideline. Furthermore, teacher facilitates students by giving subject material, magazines, newspaper, motivational story book, or online-based learning sources. There are some challenges for teacher in embedding technology in teaching and learning. First, teachers must adapt to a new way of teaching by managing more open ended discovery by students. This means shifting roles from a lecturer to a facilitator who provides resources, monitors progress and encourages students to problem solve. Teachers reap benefits when they see how excited their students are about applying their knowledge to solve a problem. Second, facilitative-based learning requires that students do the work. However, many students, especially those who prefer to know “how to get an A,” are uncomfortable with the open-ended design of facilitative learning. They are not familiar with projects that require them to apply their knowledge and problem solve. So, at first, students can get frustrated. Teachers must teach students to manage their own learning. The result will be students who are more creative and able to apply their learning to life’s challenges. An added benefit is that teachers find once the shift to facilitative learning is implemented, students are more motivated in the classroom resulting in fewer discipline problems. Third, facilitative learning requires students to apply their knowledge across subjects and that requires teachers in different disciplines to work together. Teachers feel comfortable managing their own classrooms but sometimes may not be used to working with their peers. Teachers must use facilitation skills to find positive ways of working on a single project with teachers in other disciplines. As a result, teachers find that working with their peers offers them more resources and ideas to share with students in their classrooms.

Teaching and learning become more efficient. Collaborative and cooperative are the features that can be explored more throughout the teaching and learning journey. Panitz (1987) defines collaborative learning as a philosophy about personal responsibility and an attitude of respect for others. Students are responsible for their own learning and try to find information to answer the questions confronting them. While cooperative learning (cooperative learning) is a broader concept, which includes all types of group work, including forms that are more lead by or directed by the teacher. In general, cooperative learning is considered to be more directed by the teacher, where the teacher determines the assignments and questions and provides materials and information designed to assist students in solving the intended problem. The teacher usually sets a certain form of exam at the end of the assignment.

 


Rabu, 22 April 2020

Ringkasan: Bab Perencanaan Bahasa secara Makro

Perencanaan Bahasa secara Makro

Robert B. Kaplan


Banyak pekerjaan di perencanaan bahasa berada di tingkat makro, khususnya pada periode klasik (Ricento 2000).

Tujuan Perencanaan Bahasa

Awalnya disebut rekayasa bahasa (language engineering), disiplin ilmu yang muncul untuk menyelesaikan permasalahan bahasa di negara berkembang yang baru merdeka. Perencanaan bahasa berkaitan erat dengan dua idelogi, yaitu perkembangan dan modernisasi. Dalam penelitian perencanaan bahasa, para praktisi dipandang mempunyai keahlian khusus dimana perubahan pada situasi linguistik mengarah ke perubahan politik dan sosial yang diharapkan (mendukung perkembangan kesatua dalam sistem sosial-kultural, mengurangi ketimpangan ekonomi, menyediakan akses ke pendidikan) yang dengan jelas dijabarkan di pengantar perencanaan bahasa Eastman (1983) yang mana perencanaan bahasa digambarkan sebagai pintu perubahan fundamental dalam organisasi masyarakat global, usaha moderniasasi dan pelestarian terjadi dimanapun, untuk menyediakan semua orang akses ke dunia modern melalui bahasa yang canggih secara teknologi dan juga meminjamkan rasa identitas melalui penggunaan bahasa pertama.

Perencanaan Bahasa Dibandingkan dengan Kebijakan Bahasa

Perencanaan bahasa adalah aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk mempromosikan perubahan linguistik sistematis di beberapa komunitas masyarakat. Kebijakan bahasa adalah ketetapan dari pengujian perencanaan bahasa yang merupakan ide, hukum, regulasi, dan aturan dan praktek yang bertujuan untuk mencapai perubahan bahasa yang direncanakan di dalam masyarakat, kelompok, atau sistem. Kebijakan ada ketika ada sejumlah evaluasi yang serius pada perencanaan (Rubin, 1971). Kebijakan dibentuk pada taraf resmi sampai yang tidak resmi. Peddie (1991) menekankan pernyataan-pernyataan kebijakan dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu simbolis dan substantif. Yang pertama membuat perasaan yang baik terhadap perubahan  dan yang kedua membentuk langkah-langkah spesifik untuk diambil. Motif dan pendekatan yang kompleks, dan populasi yang besar, termasuk di tahap modern, dan apa yang dipunyai pembuat dan perencana kebijakan paling sering berhasil dalam situasi makro seperti itu.

Perencanaan Bahasa Dihubungkan dengan Modernisasi dan Perkembangan

Semasa periode awal perkembangan perencanaan bahasa, para ahli percaya bahwa pemahaman bahasa dalam masyarakat dapat diterapkan di kegiatan lapangan modernisasi dan pengembangan yang bermanfaat untuk masyarakat berkembang. Praktisi periode awal bercaya bahwa perencanaan bahasa dapat menjadi peran utama dalam mencapai tujuan integrasi administrasi/politis dan persatuan sosial-kultural (Das Gupta, 1970). Fokus utama dari penelitian awal mencakup analisa kebutuhan perencanaan bahasa untuk bangsa yang baru merdeka, khususnya pemilihan bahasa dan literasi dalam proses “nationism”, dan pemeliharaan bahasa, kodifikasi dan penjabaran dalam proses “nationalism”(Fishman, 1968). Pada tahun 1970an, permasalahan bahasa bukan lagi condong ke negara berkembang, tetapi terjadi sebagai permasalahan bahasa dan situasi makro di dunia. Sejak akhir 1990an, prinsip kebijakan dan perencanaan bahasa telah juga meningkat diterapkan pada situasi mikro (contohnya, permasalahan bahasa di komunitas, organiasasi, dan perusahaan).

Dalam Pemahaman Masa Lalu, Penyebab Hilangnya Kesempatan

Ricento (2000) menyarankan bahwa perencanaan dan kebijakan bahasa dapat dibagi dalam tiga fase sejarah

·         Dekolonisasi, strukturalisme dan pragmatisme (1950an, 1960an);

·         Kegagalan modernisasi, sociolinguistik kritis (1980an, 1990an)

·         Tatanan dunia baru, pasca modern, hak asasi manusia berbahasa (abad dua puluh satu)

Perpindahan penduduk sejak tahun 1980an mempengaruhi program pengajaran bahasa di dunia. Di banyak negara, perencanaan pendidikan bahasa menjadi fokus utama untuk menghadapi perpindahan manusia secara masif (Tollefson, 1989). Perencanaan bahasa mulai marak ketika bubarnya Uni Soviet dan penyusunan kembali lingkup politik di Eropa Timur dan Asia Tengah. Selain itu, pembentukan kembali ideologi satu bahasa telah banyak mempengaruhi perencanaan bahasa (William, 1992).

 Perencanaan Bahasa dan Hak Asasi Manusia

Beberapa sarjana menyerukan kebijakan bahasa ibu (Skutnabb-Kangas, 2000), yang lainnya menghubungkan hak berbahasa dalam teori politik dan usaha untuk mengembangakan teori perencanaan bahasa (Cooper, 1989; Dua, 1994; May, 2001). Perkembangan penelitian condong pada perkembangan pemahaman yang lebih baik dari peran hak berbahasa pada pembentukan bangsam organisasi internasional, konflik politik, dan berbagai proses sosial lainnya. Perencanaan bahasa periode awal jarang mempertimbangkan kerangka aturan lokal perencanaan dan kebijakan; penelitian kini menguji cara dimana proses perencanaan bahasa dibatasi oleh hukum perundangan dan konstitusi (Liddicoat, 2008).

Perenanaan Bahasa dan Ketidak-konsistenan Internal

Di dalam beberapa situasi, pelaksanaan perencanaan bahasa bisa kompleks, semisal sudut pandang bahasa dominan dan minor.

Tujuan dan Ruang Lingkup: Dosa dari Bahasa Inggris

Konflik tujuan terjadi karena ada batas waktu dan suber daya yang ada untuk individual, kelompok, dan bangsa: seringkali adanya pilihan kebijakan bahasa yang sulit untuk dibuat karena berbagai kepentingan etnis, bahasa, dan kekuasaan.

Beberapa Asumsi yang lebih Jauh

Kegagalan kegiatan perencanaan bahasa klasik untuk mencapai tujuan di banyak konteks dan koneksi intimidasi antara perencanaan bahasa dan teori modernisasi awal periode berarti bahwa perencanaan bahasa adalah subjek untuk kritik yang sama karean teori modernisasi secara umum, terdiri dari:

·         Fakta bahwa model ekonomi cocok untuk satu tempat mungkin tidak efektif untuk tempat yang lain;

·         Fakta bahwa perkembangan ekonomi nasional tidak akan menguntungkan semua sektor di masyarakat, khususnya masyarakat miskin (Steinberg, 2001);

·         Fakta bahwa perkembangan pada umumnya gagal untuk mempertimbangkan konteks lokal dan kebutuhan yang bermasalah dan keinginan dari komunitas yang beragam; dan

·         Fakta bahwa perkembangan mempunyai efek menyatukan pada berbagai budaya dan sosial.

Perkembangan Bahasa dan Politik

Semakin familiar dengan situasi literatur yang digunakan dalam perencanaan bahasa, semakin jelas bahwa aspek kebijakan hanyalah yang kedua dari perencanaan bahasa; yang utama, hal tersebut adalah kepentingan politik (Kaplan & baldauf, 2007).

Mengapa Perencanaan Makro

Karena praktik perencanaan bahasa berevolusi terus menerus, sebagian besar kegagalan dapat teridentifikasi, sehingga perencanaan bahasa diarahkan ke dua hal utama:

1.      Bahasa yang ada bukanlah milik bangsa tertentu; akan tetapi, bahasa yang ada di sebuah ekologi ada hubungannya dengan bahasa yang lain (internasional atau lokal), penuturnya, dan sejarah serta perkembangannya.

2.      Bahasa dan politik yang mana sangat kental dengan muatan politik dan kekakuan hukum.


Ringkasan: Bab Aktor Perencanaan Bahasa

Aktor Perencanaan Bahasa

Oleh Shouhui Zhao

Pengantar

Perencanaan dan kebijakan bahasa (LPP) dipelopori oleh kerangka Haugen tahun 1966 dicirikan dengan model matrik dua dimensi empat kategori dengan dikotomi perencanaan status berbanding korpus. Bahasa dapat direncanakan melalui kebijakan amanat bangsa dengan fokus spesial pada perubahan bentuk bahasa (misalnya, kodifikasi seperti pengrafikan, penataan bahasa dan pembentukan kata/leksikon) untuk perencanaan korpus, dan fokus pada fungsi pengolahan (misalnya, modernisasi istilah, pengembangan gaya bahasa) untuk perencanaan status.

Perkembangan selanjutnya di awal 1990an, dua dimensi tambahan pada kerangka LPP. Pertama adalah pemerolehan bahasa Cooper (1989) atau dimensi perencanaan bahasa dalam pendidikan yang mengembangkan fokus LPP dengan memasukkan pembelajaran dan pengajaran bahasa. Ini diikuti oleh perencanaan wibawa Haarmann (1990), yang sangat signifikan pada saat dia menguji penerapan LPP dari perspektif penerima dan menyatakan bahwa keberterimaan produk LPP dan sikap penerima terhadap produk adalah pertimbangan penting, memberikan peningkatan ke arah yang lebih mendasar, tapi faktor yang kurang jelas di LPP - aspek psikologi dan tindakan manusia dibutuhkan untuk mencapai hasil perencanaan yang diinginkan.

Kaplan dan baldauf (2003) menyarakan dua dimensi lainnya yang dibutuhkan untuk menguji tujuan dan pendekatan LPP, yaitu kegiatan perencanaan dapat jelas atau tidak (eksplisit atau implisit) dan dapat terjadi pada rangkaian kesatuan yang ditandai oleh tiga tingkatan: makro, meso dan mikro. Agen perorangan bisa jadi perspektif yang bermanfaat untuk menyelidiki dampak perencana bahasa pada efektifitas LPP.

Asal Usul dan Kategorisasi Aktor: Menuju Agen Individu

Walaupun menjadi salah satu bidang utama penelitian LPP dalam kaitannya pemastian kesuksesan perencanaan bahasa, aktor sebelumnya hanya mendapatkan perhatian sporadis oleh peneliti, ketika bidang ini mulai mempunyai bentuk. Usaha serius di awal mula munculnya isu aktor dimulai dari sekumpulan artikel oleh Rubin dkk tahun 1977. Isu yang dibawa adalah Hebrew Academy dan Perencanaan Bahasa di India yang berkenaan dengan peran, sikap kerja dan tugas yang ditemuka di berbagai organisasi LPP dibawah pemerintah, kualifikasi pendidikan dan latar belakang individu organisasi. Baldauf (1982) adalah salah satu cendikiawan yang menandai pentingnya aktor dalam karyanya tentang American Samoa. Cooper (1989) melakukan usaha serius pertama untuk melihat aktor dari perspektif perorangan. Meminjam konsep dari pembuat kebijakan dalam ilmu politik, dia membedakan 3 bagian aktor:

·         Para elit formal yang mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan - presiden, pemerintah, senator, wakil kongres, kepala eksekutif pelaksana, kepala sekolah, guru dan seterusnya;

·         Orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat yang mempunyai ketertarikan dalam kebijakan dan melakukan yang terbaik untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan.

·          Pihak berwenang: pihak pembuat kebijakan.

Ricento dan Hornberger (1996) membandingkan LPP ke tiga lapisan - nasional/makro (penentu utama), institusional (sekolah, LSM, media, lembaga), dan interpersonal - mendiskusikan tingkat dimana lapisan tersebut terlibat dalam perkembangan dan penerapan LPP.

Mendiskusikan bagaimana LPP berhubungan secara umum dengan perencanaan pemerintah, Kaplan dan Baldauf (1997) melihat LPP sebagai subkateogri dari perencanaan pengembangan SDM. Mereka membagi aktor menjadi empat kategori, yaitu agen pemerintah, agen pendidikan, organisasi non pemerintah dan organisasi lainnya yang naturalnya dari atas ke bawah (top-down). Cooper (1989) menjumlah dua belas pengertan LPP yang dijelaskan kembali oleh Grin (2003) sebagai sistematis, rasional, usaha berbasis teori pada tingkat masyarakat untuk merubah lingkungan linguistik dengan pandangan untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini biasanya dilakukan oleh badan resmi atau sepadan dan ditujukan untuk sebagian atau seluruh populasi yang berada di wilayah hukum mereka.

Sejak tahun 1990, model dominan literatur penelitian LPP telah ditentang ketika peneliti LPP mulai menguji penerapan LPP dari perspektif penerima. Shingga tahun 1989 Cooper mendefinisikan perencanaan bahasa sebagai usaha cermat untuk mempengaruhi tindakan lainnya mengenai pemerolehan, susunan, atau alokasi fungsional dari kode bahasa mereka.

Ager (2001) mengidentifikasi tiga kategori aktor utama dalam pembentukan kebijakan: perorangan sebagai penguasa yang kuat dan pemimpin opini, kelompok elit, dan negara. Van Els (2005) mengamati bahwa dalam pemebntukan kebijakan pengajaran dan pembelajaran bahasa kedua nasional, daripada otoritas sekolah, otoritas wilayah dan atau lokal, inspektorat sekolah, dan pemerintah nasional, agen penentu keputusan paling jelas adalah siswa, orang tua atau pengasuh, dan guru. Liddicoat dan Baldauf (2008) menyatakan bahwa tidak ada kebijakan makro dapat diberlakukan langsung dan tanpa perubahan ke konteks lokal. Orang-orang yang termasuk dalam tingkat mikro meliputi:

·         Perorangan yang bekerja untuk menghidupkan kembali atau mempromosikan penggunaan bahasa;

·         Organisasi bahasa yang berperan penting pada LPP lokal untuk komunitas kecil;

·         Institusi resmi, yang tidak seharusnya di bidang bahasa; dan

·         Kelompok pendidikan komunitas, yang mungkin berperan penting.

Peran Aktor dalam Penerapan Tujuan Perencanaan Bahasa

Zhao dan Baldauf (2008) mengkategorikan agen aktor ke dalam empat tipe:

1.      Orang dengan kekuasaan. Orang-orang yang menjabat di kedinasan. Pengaruh mereka pada tubuh LPP dari kekuaatan hukum, secara resmi atau de facto.

2.      Orang dengan keahlian (ahli linguistik dan linguistik terapan, ilmuwan, ara ahli, dan orang-ornag yang sangat profesional di bidang mereka, yang ikut serta dalam LPP.

3.      Orang yang berpengaruh (elit sosial, cendikiawan, ilmuwan yang tidak berhubungan dengan LPP, penulis terkenal, pemimpin agama, pebisnis, seniman, pengacara HAM, atau kelompok ad hoc dan seterusnya.

4.      Orang yang berkepentingan (masyarakat kalangan umum yang secara tidak langsung ikut serta dalam pengambilan keputusan penggunaan bahasa).

Zhao dan Baldauf (2008) membentuk lima tingkat langkah sejajar untuk mencapai tujuan perencanaan, yang dinamai I-5.

1.      Inisiasi. Masalah harus ditampakkan dan politikus percaya bahwa masalah membutuhkan perhatian dan berharga untuk diatasi. LPP bertujuan untuk meluruskan permasalahan bahasa dengan kepentingan politik.

2.      Keikutsertaan. Sejalan dengan perencanaan korpus haugen (1983) keikutsertaan berarti partisipasi dalam langkah kodifikasi dan penjabaran.

3.      Pengaruh. Tahap ini berhubungan dengan perencanaan wibawa Haarmann (1990). Wibawa sebelunya tidak menekankan tahapan, merupakan tahap mandiri dari keempat tahap karena tidak berdasarkan aktivitas di lingkup perencanaan korpus dan status. Di dalam perencanaan, wibawa bergerak sendiri.

4.      Campur tangan. Ini terjadi ketika perencanaan membelok dari wacana atau ketidaksesuaian selama penerapan, baik penyesuaian positif karena masalah yang muncul membutuhkan mediasi, atau negatif karena campur tangan politik.

5.      Penerapan. Tahapan eksekusi dari keputusan dilabeli perencanaan status dan pengolahan bahasa di dalam kerangka Haugen (1983). Tahap penerapan lebih cenderung dengan prses daripada pengambilan keputusan.

Tahapan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas ataupun membutuhkan alur logika menimabng situasi terkini tidaklah selalu sama dan statis.

Aktor di Empat komponen klasik LPP

Model I-5 mengenalkan kategori baru untuk aktor dan komponen LPP, paparan berikut fokus pada elemen aktor menggambarkan bagaiman keempat aktor saling bekerja dengan komponen klasik, yaitu perencanaan status, perencanaan korpus, perencanaan pemerolehan dan perencanaan wibawa, dengan tujuan mengidentifikasi pola atau tendensi spesifik ke kelompok tersebut.

Aktor di Perencanaan Status

Ketika sebuah negara baru merdeka, para pencetus melakukan perencanaan status (inisiasi) untuk menentukan bahasa sebagai sistem komunikasi terpusat. Isu bahasa banyak didiskusikan dan diperdebatkan oleh orang-orang berpengaruh dan berkeahlian. Baldauf dan Kaplan (2003) menunjukkan kasus Jepang yang memperlihatkan betapa beresikonya perubahan tanpa konsultasi dengan para ahli. Kebijakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua resmi Jepang ditinggalkan ketika Keizo Obuchi meninggal di tahun 2000 karena ketiadaan peran ahli bahasa di dalamnya.

Aktor dalam Perencanaan Korpus

Perencanaan korpus utamanya berkenaan dengan linguistik dan bagian dalam bahasa sehingga membutuhkan keahlian teknis yang secara eklusif diisi oleh ahli bahasa terapan dan para professional LPP, walapun tidak menutup kemungkinan para pemangku kepentingan juga terlibat didalamnya. Seperti misalnya pada penyederhanaan huruf China (324 huruf) oleh pemerintahan partai nasional.

Aktor di Perencanaan Bahasa dalam Pendidikan

Kaplan dan Baldauf (2003) percaya bahwa delapan proses kebijakan adalah elemen kunci kesuksesan penerapan program bahasa. Proses tersebut adalah kebijakan akses, kebijakan personal, kebijakan kurikulum, kebijakan bahan dan metode, kebijakan sumber daya, kebijakan komunitas, kebijakan evaluasi, dan kebijakan guru.

 Pendidikan bahasa adalah domain yang paling rentan untuk perencanaan, dimana guru adalah produk kebijakan dan siswa sebagai penerima paket tersebut. Haugen (1983) mengatakan bahwa sepanjang kelompok elit dapat memonopoli pendidikan, penerapan menjadi relatif mudah. Pemangku kepentingan dalam pendidikan bahasa adalah otoritas pendidikan, pegawai pendidikan, ahli pengembang kurikulum, dan ahli linguistik pendidikan. Inovasi dalam pedagogi dan pembelajaran beberapa bahasa menjadi pertimbangan kedua dalam perencanaan bahasa dalam pendidikan. Guru dan pemerintah lokal diberikan otonomi untuk dapat menjadi peserta yang aktif. Pengajaran luar sekolah dapat berperan dalam tujuan kerjasama (perekanan), promosi, dan komersial, khususnya dalam kebijakan akses. Contoh dari Cooper (1989) ketika mentri Israel menghilangkan Bahasa Inggris dari kurikulum di tiga tingkat pertama sekolah dasar karena dapat ditalangi oleh pengajaran non-mainstream sekolah, kebijakan diserahkan kepada orang tua. Penyebab lainnya adalah karena ketidakcukupan finansial. Akan tetapi, orangtua percaya bahwa kebutuhan untuk menguasai bahasa Inggris di pendidikan tinggi sangatlah penting, sehingga mereka meminta adanya pengajaran Bahasa Inggris di tingkat bawah.

Kebijakan akses dibuat oleh pemerintah atau bagian pendidikannya untuk mencukupi kebutuhan sosial, ekonomi, dan politik. Namun, dalam beberapa kondisi, orang-orang dengan kepentingan dapat terlibat dalam kebijakan seperti yang dijelaskn Pakir (1994) yang disebut perencana tak terlihat (invisible planners) di Singapura. Hilangnya sekolah menengah Cina di Singapura adalah hasil keputusan invisble planners. Pemerintah Singapura mengumumkan pembentukan sekolah berbasis Cina jika memang ada permintaan yang memadai.

Aktor di Perencanaan Wibawa

Berdasarkan Teori Percontohan Bem (1970), tindakan linguistik mewakili penduduk yang berpengaruh dan elit sosial berfungsi sebagai titik acuan seluruh masyarakat. Gaya berbahasa yang dipraktikkan oleh tokoh publik menciptakan model berstatus tinggi yang akan diikuti, sehingga menghasilkan peniruan spontan dan penyebarluasan yang cepat. Kaplan dan Baldauf (2003) mencatat ada di Indonesia bahwa penggunaan bahasa kreatif dari orang yang paling karismatik, Sukarno, membentuk norma penggunaan berterima untuk bahasa nasional.

Issu Utama Aktor: Konflik antara Aktor dan yang Terlibat

Aktor dapat berperan di tingkat makro, meso, dan mikro secara terselubung atau terbuka. Konflik yang terjadi antara aktor dan orang-orang yang terlibat adalah hal yang lumrah dalam kegiatan LPP. Bahkan, usaha LPP biasany dimulai karena adanya konflik sehingga memaksa perencanaan bahasa. Fishman (2973) menekankan bahwa perencanaan bahasa menjadi lebih sulit karena menyangkut nilai kemanusiaan, emosi, dan kebiasaan dibandingkan dengan perencanaan komoditas ekonomi misalnya.

Konflik diatara Aktor

Konflik antar aktor seringkali didasarkan pada kepentingan fraksi/kelompok/partai politik yang kadangkala sampai ke tindakan anarki. Hal ini sangat mungkin terjadi karena anggota legislatif yang ikut serta dalam menentukan kebijakan mengedepankan kepentingan fraksi baik secara wilayah maupun ekonomi.

Tensi Hubungan antara Perencana dan Pengguna

Tensi hubungan antar perencana dan pengguna bisa mengarah ke bencana sosia ketika isu SARA ikut serta. Contohnya pergerakan anti-Hindi yang mengakibatkan peristiwa berdarah dalam konflik perencanaan bahasa. Lainnya, kesalahan dalam kebijakan bahasa Udu di Bengali 1952 yang mengakibatkan perpecahan negara menjadi Pakistan dan Bangladesh.

Konflik yang terjadi antara aktor dan populasi target karena adanya pemurnian bahasa. Banyak contoh kasus yang menunjukkan kekurang toleranan terhadap variasi bahasa atau usaha yang berlebihan dalam konteks kultural dan sosial yang kompleks dan tajam. Salah satu bentuk konflik ekstrem antara aktor dan pengguna adalah tuntutan bahasa melalui hukuman fisik dan penghinaan publik. Yang akhirnya menyebabkan penghilangan bahasa lokal di sekolah. Tiga kasus yang diakibatkan dari konflik aktor dan pengguna adalah bahasa Inggris “Welsh Not”, Bahasa Cina “Dunce Board” dan Bahasa Spanyol “Basque Stick”. Di “Welsh Not” and “Dunce Board”, anak-anak yang menggunakan bahasa terlarang tersebut dihukum dengan mengenakan papan yang dikalungkan di leher.

Tensi Hubungan antara Perencana dan Klien

Tanggungjawab aktor adalah menjelaskan penyelesaian terbaik untuk mencapai tujuan perencanaan, sedangkan tanggungjawab klien (untuk siapa perencana bekerja) adalah menerapkan penyelesaian ini. Bentuk lain dari tensi hubungan adalah yang dijelaskan Kaplan dan Baldauf (1997) yang disebut dnegan “abuse of agency”agency merujuk klien. Informasi “yang tidak diinginkan” seringkali dipinggirkan atau dihilangkan di banyak kasus otoritas sebenarnya tidak mau saran mandiri sesuai dengan analisis cermat situasi/adat, jika hasil dari analisis tersebut tidak sesuai dengan gagasa  prasangka tentang situasi bahasa.

Ringkasan: Bab Metode dan Pendekatan Perencanaan Bahasa

Perencanaan Bahasa: Pendekatan dan Metode
oleh Nkonko M. Kamwangamalu

Pengantar

Perencanaan bahasa adalah usaha sadar, berkelanjutan, jangka panjang, dan resmi pemerintah untuk mengubah fungsi atau bentuk bahasa di dalam masyarakat  bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan bahasa. Bidang ini mengkaji bahasa sebagai sumber bermasyarakat; sehingga kebijakan dibuat sebagai dasar pelestarian, pengaturan, dan pengembangan bahasa. Perencanaan bahasa, tentang pengembangan SDM, berkenaan dengan pertanyaan siapa yang berhak untuk melakukan apa kepada siapa untuk tujuan apa denga juga mempertimbangkan hubungan siapa menerima ketentuan perencanaan apa dari siapa dan sesuai kondisi apa. Copper meringkasnya dengan istilah skema akuntansi untuk mempelajari perencanaan bahasa: (i) siapa aktornya, (ii) berupaya untuk mempengaruhi perilaku apa, (iii) orang yang mana, (iv) untuk tujuan apa, (v) sesuai kondisi apa, (vi) dengan cara apa, (vii) melalui proses pengambilan keputusan apa, (viii) dengan akibat apa.

Tollefson berpendapat bahwa solusi dari penyelesaian permasalahan bahasa yang dihadapi perorangan harus dimulai dengan sejarah sosial pemerintahan dalam taraf mikro antarperseorangan atau makro dari pembentukan bangsa. Ruang lingkup Cooper dapat diterjemahkan dalam persoalan perencanaan status yang mengatur hubungan kekuatan bahasa dan penggunanya (status planning) yang disebut juga “the linguistic market place”, atau perubahan kondisi internal bahasa pada bentuk ejaan, pengucapan, kosakata dan tata bahasa (corpus planning) , atau keduanya.

Ada dua kategori perencanaan bahasa lainnya oleh Cooper dan Haarmann yang dikenal perencanaan pemerolehan (acquisition planning) dan perencanaan wibawa (prestige planning). Perencanaan pemerolehan bertujuan untuk meningkatkan pengguna bahasa dan perencanaan wibawa menentukan keberhasilannya. Haugen menjabarkan empat pilar perencanaan bahasa: (1) pemilihan norma; (2) kodifikasi norma; (3) penerapan fungsi bahasa; dan (4) penjabaran fungsi bahasa. Pilar 1 dan 3 termasuk dalam perencanaan status, sedangkan 2 dan 4 termasuk perencanaan korpus. Keberhasilan perencanaan bahasa didasari pada kemampuan meyakinkan sikap-sikap negatif ke arah pembenaran perencanaan yang diajukan. Grin menambahkan bahwa perencanaan bahasa erat kaitannya dengan isu sosial, kebahasaan, politik, dan ekonomi.

Perencanaan Bahasa dan Teori Kritis

Tollefson menjelaskan kebijakan bahasa kritis sebagai sebuah pendekatan perencanaan bahasa yang dengannya sistem ketimpangan dibentuk dan dipertahankan melalui bahasa. Ahli bahasa bergulat di area ini bertanggungjawab tidak hanya memahami seberapa dominan sebuah kelompok sosial menggunakan bahasa untuk membentuk dan merawat strata sosial, tetapi juga menyelidiki cara-cara untuk mengubah strata tersebut.

Contohnya adalah laporan yang dibuat oleh Kamwangamalu tentang usaha mengganti bahasa penjajah dengan bahasa lokal yang gagal karena penyalahgunaan kekuasaan. Bahasa lokal secara teoritis diperlakukan sama dengan bahasa penjajah, tetapi tidak boleh digunakan dalam situasi penting. Sama halnya dengan Sibayan yang memberi catatan pada bahasa pilipino yang digunakan sebagai pengantar untuk ilmu pengetahuan dan capaian prestasi perorangan sehingga mendapatkan kesetaraan dengan bahasa Inggris.

Perencanaan Bahasa dan Teori Permainan

Teori permainan berkenaan dengan tindakan rasional dalam pengaturan sosial yang sangat riskan dengan konflik kepentingan. Konflik kepentingan setiap kelompok yang akhirnya bertemu tanpa adanya perubahan tindakan. Pada akhirnya menunjukkan keberhasilan atau kegagalan perencanaan bahasa di berbagai situasi sosial. Penelitian untuk membentuk kebijakan pada negara banyak bahasa menunjukkan bahwa masyarakat dengan bahasa ibunya adalah bahasa nasional masuk dalam formula 3 – 1, sedangkan bahasa ibunya adalah bahasa lokal masuk dalam formula 3 + 1.

Perencanaan Bahasa dan Ekonomi Bahasa

Secara tradisional, Grin mencatat bahwa wacana kebijakan bahasa mengandalkan tiga sudut pikiran: yang legal, mendasarkan hak berbahasa dalam konteks tertentu; yang budayawan, mendasarkan bahasa adalah perwujudan budaya sehingga membatasi kebijakan intimidasi korpus atau mendukung untuk pembentukan literasi atau publikasi; dan secara pendidikan, berpusat pada pengajaran bahasa. Ekonomi bahasa berpusat pada teori dan telaah ilmiah dimana bahasa dan ekonomi saling mempengaruhi. Beberapa isu tentang ekonomi bahasa antara lain:

·         Relevansi bahasa sebgai alat penjabaran proses ekonomu seperti produksi, distribusi, dan konsumsi;

·         Relevansi bahasa sebagai komoditas dalam pemerolehan alasan bagus untuk investasi;

·         Pengajaran bahasa sebagai investasi sosial, menguntungkan (pasar ataupun tidak);

·         Implikasi ekonomi (modal dan keuntungan) dari kebijakan bahasa (pasar ataupun tidak).

Grin membuat daftar isu pembelajaran dalam ekonomi bahasa: efek bahasa terhadap pendapatan, pembelajaran bahasa oleh imigran, perbaikan pola bahasa dan penyebaran di masyarakat banyak bahasa, pemilihan dan pembentukan kebijakan bahasa, promosi dan pelestarian bahasa minor, penggunaan bahasa di tempat kerja, dan keseimbangan pasar untuk layanan dan barang khusus bahasa. Bourdieu mengatakan bahwa semakin banyak modal kebahasaan maka semakin besar exploitasi yang bisa mengamankan perbedaan keuntungan. Disnilah diperlukan kehati-hatian dalam membentuk kebijakan bahasa. Kebijakan bahasa dianggap sukses apabila bisa mendongkrak ekonomi.

Bahasa sebagai komoditi ekonomi dijabarkan oleh Fishman pada aktivitas “Basquecization” di Spanyol. Promosi bahasa Basque berhasil karena memberikan dampak positif ke ekonomi dengan mengeluarkan sertifikat tingkat kompetensi berbahasa, syarat kualifikasi promosi, kenaikan gaji, masa kerja dan syarat kesuksesan di dunia kerja. Gibson Ferguson melakukan studi perbandingan bahasa Welsh dan Breton, kebangkitan bahasa Welsh dan penolakan bahasa Breton dikarenakan perbedaan faktor politik-sosial dan ekonomi.

Perencanaan Bahasa dan Teori Manajemen Bahasa

Telah dijabarkan sebelumnya bahwa perencanaan bahasa adalah bidang multi dimensi; linguistik dan sosiolinguistik, ekonomi dan politik terintegrasi dalam bahasa di masyarakat. Manajemen bahasa dipahami sebagai serangkaian aktivitas yang dibentuk untuk mencapai tujuan kebijakan bahasa. Pendekatan ini diartikan sebagai proses top-down, yaitu kebijakan apa yang paling mendunia.

Jernudd and Neustpny mengartikan manajemen bahasa sebagai bagaimana mengunakan bahasa, tetapi juga bagaimana berinteraksi dengan bahasa. Sebagai bahan penyelidikan bahasa, manajemen bahasa dilihat sebagai proses (1) penutur/penulis dan pendengar/pembaca tanpa sadar tidak hanya memeriksa penggunaan bahasa menentang norma yang mereka punya tetapi juga mencatat penyimpangan yang terjadi, (2) mengevaluasi penyimpangan dan membentuk ketidakcakapan, (3) merencanakan penyesuaian untuk memperbaiki penyimpangan yang dibutuhkan berdasarkan norma, dan (4) melengkapi proses ketika menerapkan penyesuaian yang direncanakan.

Metode Perencanaan Bahasa

Observasi Etnografi

Etnografi adalah studi yang utamanya berhubungan dan secara tradisional dengan proses antropologi dari menjelaskan dan menganalisaseluruh budaya. Ruang lingkup etnografi dikatakan holistik/menyeluruh bukan karena ukuran/jumlah unit studi, komunitas, sebuah institusional, kelas atau rumah, tetapi karena unit analisa dipertimbangkan secara analitik secara keseluruhan. Hymes menyebutkan bahwa etnografi adalah pendekatan yang menghubungkan antara bahasa dan budaya. Etnografi adalah metode untuk pengumpulan data dalam isu yang besar seperti codeswithing, sikap bahasa, atau bahasa dan identitas. Metode ini meliputi berbagai prosedur pengumpulan data, diantaranya observasi, wawancara, pemetaan dan pola diagram direkam dari catatan lapangan, analisis interaksi, studi tentang rekam sejarah dan dokumen publik, menggunakan data demografis, studi kasus, kasus sejarah, atau pola komunikasi perekaman video.

Canagarajah mencatat bahwa penelitian etnografi dapat menyajikan timbal balik dalam berbagai tingkat perencanaan bahasa – sebelum, selama, dan sesudah penerapan. Sebelum penerapan, etnografi menyediakan informasi penting pada persoalan sperti sikap kelompok target terhadap perencanaan bahasa, atau pentingnya identitas dan komunitas. Selama penerapan, etnografi menjelajahi bagaimana perbedaan fungsi agen dan institusi dalam mempromosikan kebijakan. Setelah penerapan, etnografi menguji konsekuensi perencanaan bahasa untuk komunitas target dan berbagai komunitas. Pentingnya etnografi pada perencanaan bahasa untuk mencari jawaban pada pertanyaan pilihan bahasa yang juga jantung perencanaan bahasa: siapa menggunakan apa variasi bahasa, dengan siapa, tentang apa, di keadaan apa, untuk tujuan apa?

 Survey Bahasa

Umumnya, bahasa menggunakan survey terdiri atas kuisioner yang bertujuan untuk menentukan sikap penutur terhadap bahasa yang tersedia, maupun bahasa yang peutur gunakan kapan, dimana, dengan siapa, dan untuk tujuan apa. Survey sosiolinguistik mencari jawaban seperti berikut: pada bahasa apa seseorang membaca surat kabar, mendengar berita, memanggil orang tua/ sejawat/ saudara kandung/ anak-anak/ pembantu/ pasangan, dan sebagainya. Whitley menyatakan survey kelas menunjukkan peran penting guru dalam perencanaan bahasa. Beberapa sarjana skeptis tentang kemapanan survey bahasa untuk mengukur penggunaan bahasa. Labov mengamati bahwa survey bahasa umumnya mewakili penyelidik daripada teori pembicaraan pengguna.

Analisa Geolinguistik

Geolinguistik didefinisikan sebagai cabang dari geografi manusia yang berkenaan dengan konteks ruang-sosial dari penggunaan bahasa dan pemilihan bahasa, khususnya ketika bersinggungan dengan kelompok mayoritas, untuk menghindari pengurangan dan penghilangan bahasa dari identitas dan budaya kelompok minoritas.

Pertanyaan kunci yang ahli geolinguistik cari jawabannya yang berpusat pada perencanaan bahasa, yaitu, siapa berbicara bahasa apa, dimana, kapan dan mengapa. Dengan menyelidiki pertanyaan ini, ahli geolinguistik bertujuan untuk membuka domain dimana minoritas bahasa digunakan dan tidak digunakan, dan menginformasikan kebijakan bahasa menuju pengesahan hak bahasa minoritas dan pengembangan domain untuk penggunaan eksklusif bahasa minoritas.

Dalam usaha untuk membahasa paham multikultural dan pertanyaan yang menyoroti di paragraf sebelumnya, ahli geolinguistik melihat pola pergerakan dan koneksi manusia maupun proses historis yang telah berkontribusi pada pola ini dan perubahan hal yang bersamaan di komposisi etik dan penggunaan bahasa.  Perencanaan bahasa harus dibentuk untuk membuat bahasa minoritas bersumbangsih pada  etnis minoritas sebanyak bahasa mayoritas lakukan kepada populasi pemerintah, seperti pada partisipasi politik dan akses ke ketenagakerjaan dan sumber ekonomi.

Selasa, 21 April 2020

Ringkasan: Bab Sejarah dan Teori Perencanaan Bahasa

Sejarah dan Teori Perencanaan Bahasa 

oleh Jiri Nekvapil

Jiří Nekvapil | Department of Linguistics

Pengantar

Saat menggunakan bahasa, ada orang yang kurang peduli dengan ungkapan atau bahasa yang digunakan dan ada yang sangat detail mempertimbangkan setiap aspek ungkapan atau kalimat yang disampaikan. Pertimbangan bahasa tersebut antara lain sensitivitas bahasa terhadap ungkapan, pengubahannya dan pada beberapa kesempatan menindaklanjuti pemikiran tersebut. Hal-hal tersebutlah yang membawa perubahan pada perencanaan bahasa dan kegiatan sastra. Kaplan dan baldauf (1997, p.3) menyatakan bahwa satu atau lebih komunitas bisa memanipulasi bahasa melalui perencanaan bahasa sebagai ide utama, perundangan dan peraturan (kebijakan bahasa), perubahan aturan, kepercayaan, dan praktik.

Perencanaan bahasa mendapatkan tanggapan negatif di tahun 1960an. Sikap negatif terhadap perencanaan bahasa yang muncul pada saat itu jelas sarat dengan kepentingan politik secara praktis karena dipandang sebagai kajian interdisipliner yang bertentangan dengan konsep-konsep linguistik dan pondasi ideologis strukturalis. Hall (1950) menyatakan bahwa perubahan bahasa harus dianggap sebagai suatu kejadian alamiah, bukan rekayasa yang dipengaruhi atau dibentuk oleh interferensi dengan slogan leave your language alone. Tanggapan positif terhadap perencanaan bahasa muncul saat Rubin dan Jenudd (1971a) menulis buku berjudul Can Language Be Planned? dan saat Fishman menulis buku berjudul Do Not Leave Your Language Alone di tahun 2006. Pada akhirnya perencanaan bahasa berkembang menjadi salah satu disiplin ilmu yang membentuk ilmu sosiolinguistik, selanjutnya berkaitan erat dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu lainnya. Pembahasan pada bab ini  menjabarkan perencanaan bahasa dalam konsep menajemen bahasa sebagai ilmu interdisipliner dan dalm aspek aspek linguistik yang menentang dasar teori umum bahasa (Neustupny (1978) atau Harmann (1990). Bagian berikut ini mengingatkan kembali 4 sistem sosial lainnya dalam perencaan bahasa belakangan ini yang merupakan leluhur perencanaan bahasa modern.

Contoh sejarah

Neustupny (2993, 2006) menjelaskan perencanaan bahasa sebagai praktik sosial dalam empat tahap: Sebelum Modern, Awal Modern, Modern dan Setelah Modern. Tahapan tersebut didasarkan pada pola-pola pada fenomena sosial budaya sehingga membentuk konsep tipe-tipe perkembangan bahasa dan bisa saja terjadi bersamaan.

Akademi Perancis (1634): (akhir) Tipe Sebelum Modern


Akademi Perancis lahir setengah abad setelah Lembaga bahasa ‘Italia’. Lembaga ini diprakarsai oleh Cardinal Richelieu ketika para elit Eropa mulai menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian yang kemudian membentuk bahasa Latin. Richelieu ingin menguatkan persatuan bangsa melalui penyatuan pada masa penstabilan kembali Perancis. Tujuan dari akademi Perancis adalah pembentukan kejelasan aturan bahasa dan membuatnya menjadi murni, berterima, dan mampu membahasakan ilmu pengetahuan dan seni (dikutip dari Cooper, 1989, p.10) melalui penerbitan tata bahasa, kamus, petunjuk bahasa retorik dan puisi. Praktik-praktik yang ada di Akademi Perancis menjadi percontohan bagi lembaga serupa yang muncul di Eropa, contohnya di Swedia. Perencanaan bahasa menjadi sebuah disiplin ilmu (perencanaan bahasa klasik) ketika dapat membaur dengan kondisi sekitar, tapi tidak terpengaruh oleh buruknya sistem kolonial tahun 1960an.

Pergerakan Nasional Bangsa Eropa abad 19: Perencanaan Bahasa Tipe Awal Modern

Menurut Herdian, pergerakan ini menyebabkan pembentukan bangsa-bangsa modern (Slovakia, Ceko, Norwegia, Finlandia, dan lainnya) yang sebelumnya ditekan oleh bangsa-bangsa kuat dalam satu kelompok heterogen yang cenderung berorientasi pada budaya dan linguistik daripada politik dan sosial (lihat Hroch, 1998). Contohnya adalah tulisan Ivar Aasen (183-1896) tentang paradigma program perencanaan bahasa. Situasi latar belakang, tujuan program, tujuan kebijakan, dan prosedur penerapan kebijakan adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis dan evaluasi berbagai program bahasa. Tujuan dari program ini adalah mengganti bahasa Denmark dan menggunakan norma dialek sebagai dasar awal bahasa Norwegia.Di Ceko, pergerakan nasional diawali oleh sarjana Slavic Studies Josef Dobrovsky (1753-1829) yang mengkodekan norma bahasa Ceko humanistik menjadi standar bahasa dalam sebuah tata bahasa di tahun 1809. Kedua peristiwa tersebut menjadi pokok perubahan yang berpengaruh pada penutur dan penulis.

Perencanaan bahasa di era modern awal ditandai dengan pemilihan jenis bahasa yang dibakukan dan kosakata yang cenderung seputar keilmuan dan seni. Semisal pada pergerakan nasional Ceko, patriot generasi kedua yang dipimpin oleh Josef Jungmann (1773-1847) merangkum leksikon menjadi kamus bahasa Jerman-Ceko sebanyak 5  terbitan (1834-1839).

Perserikatan Soviet 1920an dan 1930an: Sebelum dan saat modern

Vladimir Lenin Communist Party Of The Soviet Union Russian ...

Di masa itu, Perserikatan Soviet mempunyai ratusan suku/ras dengan beragam perkembangan bahasa yang  sebagian besar hanya dalam bentuk lisan. Ajaran Leninis (politik komunis) memberikan hak kepada suku/ras untuk menggunakan bahasa mereka di persekolahan. Ketidakinginan untuk mengikuti huruf Cyrillic yang disebarkan oleh bangsa Rusia pada masa itu mendorong Perserikatan Soviet untuk melakukan perencanaan bahasa sendiri yang disebut “Pembangunan Bahasa”; pembuatan 10 huruf baru, tatanan ejaan, pembaharuan sebagian besar bahasa, istilah, buku bacaan permulaan, dan lain-lain. Alpatov menyebutkan ada lebih dari 70 huruf dibuat untuk bahasa perserikatan Soviet di periode ini. Para ahli bahasa mendorong perkembangan struktur bahasa dan mengkombinasikan bahasa dengan teori phonologi. Di sisi lain, paham Marxis menyekat perencanaan bahasa pada penekanan sudut pandang sosial dan kritik terhadap linguistik strukturalis yang menkerdilkan hal-hal yang mempengaruhi bahasa. Pendekatan dan kegiatan dalam perencanaan bahasa Soviet 1920an dan pertengahan 1930an termasuk dalam “perencaan bahasa klasik”.

Aliran Bahasa Praha dan Cekoslovakia 1920an dan 1930an

Perencanaan bahasa ini menjadi contoh bagus dari tipe Modern- tidak berpusat pada masalah sosial, melainkan masalah detail dan alih bentuknya. Negara Cekoslovakia adalah pecahan dari Kekaisaran Hapsburg, terdiri dari berbagai ras yang saling berselisih, memiliki teori Aliran Praha yang mendasari perencaanaan bahasa untuk membentuk bahasa baku bagi sebagian besar bangsa Ceko. Teori aliran Praha berbentuk pengolahan bahasa kemudian diakui dan diterima pada “Perencanaan Bahasa Klasik”. Istilah-istilah yang paten pada pendekatan ini antara lain norma, fungsi, intelektualisasi dan kemapanan yang luwes pada bahasa baku. Pendekatan pengolahan bahasa dan kebijakan adalah dua pendekatan dasar untuk perencanaan bahasa yang digunakan pada beberapa bahasa minoritas di Eropa.

Perencanaan Bahasa Klasik dan Haugen

Einar Haugen – Harvard Gazette

Kesadaran untuk menindaklanjuti permasalahan bahasa menjadi satu disiplin ilmu mulai marak di negara-negara dunia ketiga oleh sebab bantuan dari negara-negara dunia pertama (akademi Amerika) setelah Perang Dunia II yang menandai runtuhnya jaman kolonial sebagai salah satu modal perkembangan dan modernitas. Kajian utama yang termasuk dalam “Perencanaan Status” meliputi bagian sosial budaya (Nasionalisme) dan politik (Kebangsaan) dan rancangan literasi yang terkait. Selain itu, ada perencanaan perkembangan bahasa yang mengarah pada pembentukan bahasa itu sendiri yang disebut “Perencanaan Korpus” bertujuan grafisasi, kebakuan dan pembaharuan kosakata bahasa. Dari sinilah muncul disiplin yang lebih khusus sekaligus umum, sosiolinguistik, yang dipahami sebagai induk dari disiplin ilmu perencanaan bahasa. Haugen mencatat perencanaan bahasa menjelaskan kegiatan persiapan ortografi/ejaan normatif, tata bahasa, dan kamus sebagai petunjuk penutur dan penulis di dalam kelompok (logat) bahasa yang beragam. Penerapannya dalam ilmu linguistik tidak hanya secara deskriptif, tetapi juga pilihan bentuk-bentuk linguistik.

Perencanaan menunjukkan alur pikir memprediksi masa depan berdasarkan pengetahuan yang ada di masa lalu yang ditunjang dengan sudut pandang personal. Istilah “perencanaan” dalam bahasa membentuk cabang ilmu baru yang dikenal “perencanaan sosial” yang kemudian diperjelas pada level teoritis di ilmu sosial barat dan diterapkan dalam kebijakan dan ekonomi di beberapa negara. Haugen juga menghubungkan perkembangan perencanaan bahasa dengan “teori keputusan” waktu itu dan mengejewantahkan secara detail hal-hal penting “prosedur pengambilan keputusan” untuk perencanaan bahasa. Anasir yang terkandung adalah masalah yang akan diselesaikan, pembuat keputusan dan metode penerapan. Penyelesaian masalah-masalah bahasa pada akhirnya mempunyai andil pada kesejahteraan ekonomi negara. Perencanaan bahasa dapat dipandang dari dua sisi. Yang pertama sebagai disiplin ilmu dan yang kedua sebagai variabel pengembangan teori khusus dalam politik, sosial, dan ekonomi.

Kritik Perencanaan Bahasa Klasik

Di tahun 1980an, ada banyak kritik yang dilontarkan ke teori perencanaan bahasa.

-          Kegagalan proses modernisasi negara-negara berkembang melalui perencanaan bahasa dikarenakan kurangnya pengaruh perencanaan bahasa klasik terhadap keadaan yang sebenarnya.

-           Rubin, pendukung teori perencanaan bahasa klasik, mengkritik “model rasional” dengan mengakui adanya berbagai “masalah jahat” dari keikutsertaan unsur-unsur yang tidak diketahui tanpa adanya “aturan penghenti”.

-          Cooper (1989) menolak konsep perencanaan bahasa sebagai pemecahan-masalah dan mendefinisikan perencanaan bahasa sebagai usaha sadar untuk mempengaruhi tindakan orang lain dengan memperhatikan pemerolehan bahasa, susunan, atau alokasi fungsional kode bahasa tersebut.

-          Jernudd (1997) memberikan catatan bahwa teori sosiolinguistik dan penerapan di negara-negara berkembang meliputi situasi di berbagai level pengembangan (dari negara ke perusahaan), kelompok populasi (wanita ke pengungsi), berbagai tindak komunikasi (media, saluran media, dan pengolahan informasi), perbedaan ideologi dan kenyataan, kondisi sosiopolitik lokal dan global.

-          Perkembangan awal perencanaan bahasa sangat erat kaitannya dengan teori evolusi modernisasi berdasarkan fungsionalisme struktural Parson.

Pemutarbalikkan Perubahan Bahasa dan Kritiknya

Era awal modernisasi bahasa ditandai dengan penyatuan bahasa-bahasa (dengan bantuan standarisasi) dan tekanan bahasa-bahasa Eropa terhadap keragaman linguistik di negara-negara dunia ketiga. Perencanaan bahasa klasik, satu bangsa satu bahasa, merupakan konsep dari negara modern eropa yang dibawa ke negara-negara berkembang. Namun demikian, perencanaan bahasa pascamodern memberikan dukungan pada variasi bahasa dan melindungi kemajemukan yang dipengaruhi oleh pendekatan ekologi bahasa (Language Ecology) dan hak asasi berbahasa (Linguistic human rights). Kemudian berkembang model perubahan bahasa memutarbalikkan (Reversing Language Shift model) yang merangkul paradikma baru yang bermunculan, yaitu ideologi, ekologi, dan perantara. Model ini muncul sebagai reaksi atas fakta- fakta yang terjadi di dunia globalisasi kontemporer (sementara), banyak bahasa terancam punah, yaitu membekukan refleksi teoritis dan panduan lapangan pnecegahannya, atau di beberapa kasus, untuk menghidupkan kembali bahasa. Level ancaman kepunahan bahasa terbagi dalam delapan skala.

Taraf 1   : Bahasa potensial terancam masih digunakan di bidang pendidikan, kerja, media masa, dan tingkat lebih tinggi, bahkan tingkat negara (bagian);

Taraf 2   : Bahasa terancam digunakan di tingkat lebih rendah (media lokal dan kantor pemerintahan);

Taraf 3   : Bahasa terancam di lingkungan kerja lokal, dimana interaksi antar penutur bahasa minoritas dan mayoritas bahasa;

Taraf 4   : Bahasa terancam digunakan sebaga bahasa pengajaran di sekolah, kelonggaran atau kekerapan bergantung pada pengajaran di bahasa mayoritas;

Taraf 5   : Bahasa terancam digunakan untuk pengajaran, tetapi tidak di pendidikan formal;

Taraf 6   : Bahasa terancam digunakan di lingkungan keluarga sebaga alat menyerahkan antar generasi sebagai tradisi dan sehingga diturunkan dengan cara ini;

Taraf 7   : Bahasa terancam digunakan oleh generasi tua, yang sudah melampaui umur produktif manusia secara biologis;

Taraf 8   : Bahasa terancam digunakan (diketahui, diingat) hanya oleh beberapa penutur lebih tua.

Model pilihan lainnya adalah “Catherine Wheel” yang digaungkan oleh M. Strubell yang menonjolkan individu sebagai pengguna dan titik tolaknya adalah komponen-komponen berikut secara fungsional saling berhubungan: (1) kompetensi bahasa individu, (2) penggunaan sosial bahasa, (3) keberadaan produk dan jasa bahasa ini dan kebutuhannya, (4) semangat untuk belajar dan menggunakan bahasa tersebut.                   

Bagan 52.1 Catherine Wheel

 Tujuan dari perencanaan dan kebijakan bahasa adalah mengetahui di komponen yang mana mengalami gangguan, and untuk memperbarui dinamikanya melalui pengukuran yang sesuai.

Kerangka kerja Manajemen Bahasa

            Teori/Kerangka/Model Manajemen Bahasa (LMT) membatasi isi teoritis pada manajemen ungkapan (metalinguistik), bukan pada  pembentukan ungkapan (linguistik). Manajemen bahasa terjadi pada interaksi konkrit perorangan atau institusi dari berbagai kompleksitas dan dengan itu memungkinkan untuk membedakan simple management (manajemen berbasis wacana, daring) dan organized management (manajemen langsung, luring). Contoh dari simple management adalah ketika guru menggunakan bahasa keseharian yang tidak biasa selama pelajaran bahasa asing dan segera menghadirkan arti sepadan. Contoh dari organized management adalah pembaruan bahasa atau pengenalan bahasa baru ke sistem sekolah. Tahao simple management adalah sebagai berikut.

1.      Penutur mencatat perbedaan/deviasi dari pembelajaran yang diharapkan dari komunikasi;

2.      Penutur dapat (tapi tidak harus) menilai perbedaan (jika negaif berarti ketidakcukupan atau masalah, jika positif berarti kecukupan);

3.      Sebagai reaksi penilaian, penutur dapat (tapi tidak harus) membuat sebuah rancangan penyesuaian;

4.      Penutur dapat (tapi tidak harus) menerapkan rancangan penyesuaian.

Organized management dicirikan dengan hal-hal berikut.

1.      Tindakan manajemen bersifat trans-interaksional.

2.      Sebuah hubungan sosial atau bahkan institusi dilibatkan.

3.      Hubungan tentang manajemen terjadi.

4.      Keikutsertaan penteorian dan kepercayaan.

5.      Sebagai tamabahan pada bahasa sebagai wacana, objek dari manajemen adalah bahasa sebagai sistem.

LMT telah digunakan, diantara teori lainnya, pada analisis beragam aspek pemerolehan bahasa kedua dan asing dan kompetensi interkultural secara umum. LMT juga berkembang dalam penelitian yang berkenaan dengan pemerolehan kompetensi akademik.

Untuk memperkaya pengetahuan, berikut video diskusi dengan topik perencanaan dan kebijakan bahasa