Teaching and learning
nowadays cannot be separated from technology. It has become worthy compatriot
for face to face (f2f) pedagogy since many advantages are derived from
it. Students are having wide
space to develop their understanding of the materials. Students are able to
choose different exercises from abundant online sources. Students deliberately
gain diverse knowledge that may different from one to another. Students can
learn without being hindered by time and space. Teacher can save energy to other
activities. Applying technology in learning means giving more opportunities for
students to develop their understanding by themselves. The worthy time of
learning happen when they individually or in groups doing the activities.
Teacher as a
facilitator, providing assistance to drive the students on the right track. By
giving instruction toward what the students should do and how to use the
technology, whether certain platform or guideline. Furthermore, teacher
facilitates students by giving subject material, magazines, newspaper,
motivational story book, or online-based learning sources. There are some
challenges for teacher in embedding technology in teaching and learning. First,
teachers must adapt to a new way of teaching by managing more open ended discovery
by students. This means shifting roles from a lecturer to a facilitator who
provides resources, monitors progress and encourages students to problem solve.
Teachers reap benefits when they see how excited their students are about
applying their knowledge to solve a problem. Second, facilitative-based
learning requires that students do the work. However, many students, especially
those who prefer to know “how to get an A,” are uncomfortable with the
open-ended design of facilitative learning. They are not familiar with projects
that require them to apply their knowledge and problem solve. So, at first,
students can get frustrated. Teachers must teach students to manage their own
learning. The result will be students who are more creative and able to apply
their learning to life’s challenges. An added benefit is that teachers find
once the shift to facilitative learning is implemented, students are more
motivated in the classroom resulting in fewer discipline problems. Third,
facilitative learning requires students to apply their knowledge across
subjects and that requires teachers in different disciplines to work together.
Teachers feel comfortable managing their own classrooms but sometimes may not
be used to working with their peers. Teachers must use facilitation skills to
find positive ways of working on a single project with teachers in other
disciplines. As a result, teachers find that working with their peers offers
them more resources and ideas to share with students in their classrooms.
Teaching and learning
become more efficient. Collaborative and cooperative are the features that can
be explored more throughout the teaching and learning journey. Panitz
(1987) defines collaborative learning as a philosophy about personal
responsibility and an attitude of respect for others. Students are responsible
for their own learning and try to find information to answer the questions
confronting them. While cooperative learning (cooperative learning) is a
broader concept, which includes all types of group work, including forms that
are more lead by or directed by the teacher. In general, cooperative learning
is considered to be more directed by the teacher, where the teacher determines
the assignments and questions and provides materials and information designed
to assist students in solving the intended problem. The teacher usually sets a
certain form of exam at the end of the assignment.
Banyak pekerjaan di perencanaan bahasa
berada di tingkat makro, khususnya pada periode klasik (Ricento 2000).
Tujuan Perencanaan Bahasa
Awalnya disebut rekayasa bahasa (language
engineering), disiplin ilmu yang muncul untuk menyelesaikan permasalahan
bahasa di negara berkembang yang baru merdeka. Perencanaan bahasa berkaitan
erat dengan dua idelogi, yaitu perkembangan dan modernisasi. Dalam penelitian
perencanaan bahasa, para praktisi dipandang mempunyai keahlian khusus dimana
perubahan pada situasi linguistik mengarah ke perubahan politik dan sosial yang
diharapkan (mendukung perkembangan kesatua dalam sistem sosial-kultural,
mengurangi ketimpangan ekonomi, menyediakan akses ke pendidikan) yang dengan
jelas dijabarkan di pengantar perencanaan bahasa Eastman (1983) yang mana
perencanaan bahasa digambarkan sebagai pintu perubahan fundamental dalam
organisasi masyarakat global, usaha moderniasasi dan pelestarian terjadi
dimanapun, untuk menyediakan semua orang akses ke dunia modern melalui bahasa
yang canggih secara teknologi dan juga meminjamkan rasa identitas melalui
penggunaan bahasa pertama.
Perencanaan Bahasa Dibandingkan dengan
Kebijakan Bahasa
Perencanaan bahasa adalah aktivitas yang
dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk mempromosikan perubahan
linguistik sistematis di beberapa komunitas masyarakat. Kebijakan bahasa adalah
ketetapan dari pengujian perencanaan bahasa yang merupakan ide, hukum,
regulasi, dan aturan dan praktek yang bertujuan untuk mencapai perubahan bahasa
yang direncanakan di dalam masyarakat, kelompok, atau sistem. Kebijakan ada
ketika ada sejumlah evaluasi yang serius pada perencanaan (Rubin, 1971).
Kebijakan dibentuk pada taraf resmi sampai yang tidak resmi. Peddie (1991)
menekankan pernyataan-pernyataan kebijakan dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu
simbolis dan substantif. Yang pertama membuat perasaan yang baik terhadap
perubahandan yang kedua membentuk
langkah-langkah spesifik untuk diambil. Motif dan pendekatan yang kompleks, dan
populasi yang besar, termasuk di tahap modern, dan apa yang dipunyai pembuat
dan perencana kebijakan paling sering berhasil dalam situasi makro seperti itu.
Perencanaan Bahasa Dihubungkan dengan
Modernisasi dan Perkembangan
Semasa periode awal perkembangan
perencanaan bahasa, para ahli percaya bahwa pemahaman bahasa dalam masyarakat
dapat diterapkan di kegiatan lapangan modernisasi dan pengembangan yang
bermanfaat untuk masyarakat berkembang. Praktisi periode awal bercaya bahwa
perencanaan bahasa dapat menjadi peran utama dalam mencapai tujuan integrasi
administrasi/politis dan persatuan sosial-kultural (Das Gupta, 1970). Fokus
utama dari penelitian awal mencakup analisa kebutuhan perencanaan bahasa untuk
bangsa yang baru merdeka, khususnya pemilihan bahasa dan literasi dalam proses
“nationism”, dan pemeliharaan bahasa, kodifikasi dan penjabaran dalam proses
“nationalism”(Fishman, 1968). Pada tahun 1970an, permasalahan bahasa bukan lagi
condong ke negara berkembang, tetapi terjadi sebagai permasalahan bahasa dan
situasi makro di dunia. Sejak akhir 1990an, prinsip kebijakan dan perencanaan
bahasa telah juga meningkat diterapkan pada situasi mikro (contohnya,
permasalahan bahasa di komunitas, organiasasi, dan perusahaan).
Dalam Pemahaman Masa Lalu, Penyebab
Hilangnya Kesempatan
Ricento (2000) menyarankan bahwa
perencanaan dan kebijakan bahasa dapat dibagi dalam tiga fase sejarah
·Dekolonisasi, strukturalisme
dan pragmatisme (1950an, 1960an);
·Tatanan dunia baru, pasca
modern, hak asasi manusia berbahasa (abad dua puluh satu)
Perpindahan penduduk sejak tahun 1980an mempengaruhi program
pengajaran bahasa di dunia. Di banyak negara, perencanaan pendidikan bahasa
menjadi fokus utama untuk menghadapi perpindahan manusia secara masif (Tollefson,
1989). Perencanaan bahasa mulai marak ketika bubarnya Uni Soviet dan penyusunan
kembali lingkup politik di Eropa Timur dan Asia Tengah. Selain itu, pembentukan
kembali ideologi satu bahasa telah banyak mempengaruhi perencanaan bahasa
(William, 1992).
Perencanaan Bahasa dan Hak
Asasi Manusia
Beberapa sarjana menyerukan kebijakan bahasa ibu (Skutnabb-Kangas,
2000), yang lainnya menghubungkan hak berbahasa dalam teori politik dan usaha
untuk mengembangakan teori perencanaan bahasa (Cooper, 1989; Dua, 1994; May,
2001). Perkembangan penelitian condong pada perkembangan pemahaman yang lebih
baik dari peran hak berbahasa pada pembentukan bangsam organisasi
internasional, konflik politik, dan berbagai proses sosial lainnya. Perencanaan
bahasa periode awal jarang mempertimbangkan kerangka aturan lokal perencanaan
dan kebijakan; penelitian kini menguji cara dimana proses perencanaan bahasa
dibatasi oleh hukum perundangan dan konstitusi (Liddicoat, 2008).
Perenanaan Bahasa dan Ketidak-konsistenan Internal
Di dalam beberapa situasi, pelaksanaan perencanaan bahasa bisa
kompleks, semisal sudut pandang bahasa dominan dan minor.
Tujuan dan Ruang Lingkup: Dosa dari Bahasa Inggris
Konflik tujuan terjadi karena
ada batas waktu dan suber daya yang ada untuk individual, kelompok, dan bangsa:
seringkali adanya pilihan kebijakan bahasa yang sulit untuk dibuat karena
berbagai kepentingan etnis, bahasa, dan kekuasaan.
Beberapa Asumsi yang lebih Jauh
Kegagalan kegiatan perencanaan bahasa klasik untuk mencapai tujuan
di banyak konteks dan koneksi intimidasi antara perencanaan bahasa dan teori
modernisasi awal periode berarti bahwa perencanaan bahasa adalah subjek untuk
kritik yang sama karean teori modernisasi secara umum, terdiri dari:
·Fakta bahwa model ekonomi cocok
untuk satu tempat mungkin tidak efektif untuk tempat yang lain;
·Fakta bahwa perkembangan
ekonomi nasional tidak akan menguntungkan semua sektor di masyarakat, khususnya
masyarakat miskin (Steinberg, 2001);
·Fakta bahwa perkembangan pada
umumnya gagal untuk mempertimbangkan konteks lokal dan kebutuhan yang
bermasalah dan keinginan dari komunitas yang beragam; dan
·Fakta bahwa perkembangan
mempunyai efek menyatukan pada berbagai budaya dan sosial.
Perkembangan Bahasa dan Politik
Semakin familiar dengan situasi literatur yang digunakan dalam
perencanaan bahasa, semakin jelas bahwa aspek kebijakan hanyalah yang kedua
dari perencanaan bahasa; yang utama, hal tersebut adalah kepentingan politik
(Kaplan & baldauf, 2007).
Mengapa Perencanaan Makro
Karena praktik perencanaan bahasa berevolusi terus menerus, sebagian
besar kegagalan dapat teridentifikasi, sehingga perencanaan bahasa diarahkan ke
dua hal utama:
1.Bahasa yang ada bukanlah milik
bangsa tertentu; akan tetapi, bahasa yang ada di sebuah ekologi ada hubungannya
dengan bahasa yang lain (internasional atau lokal), penuturnya, dan sejarah
serta perkembangannya.
2.Bahasa dan politik yang mana
sangat kental dengan muatan politik dan kekakuan hukum.
Perencanaan dan
kebijakan bahasa (LPP) dipelopori oleh kerangka Haugen tahun 1966 dicirikan
dengan model matrik dua dimensi empat kategori dengan dikotomi perencanaan
status berbanding korpus. Bahasa dapat direncanakan melalui kebijakan amanat
bangsa dengan fokus spesial pada perubahan bentuk bahasa (misalnya, kodifikasi
seperti pengrafikan, penataan bahasa dan pembentukan kata/leksikon) untuk
perencanaan korpus, dan fokus pada fungsi pengolahan (misalnya, modernisasi
istilah, pengembangan gaya bahasa) untuk perencanaan status.
Perkembangan
selanjutnya di awal 1990an, dua dimensi tambahan pada kerangka LPP. Pertama
adalah pemerolehan bahasa Cooper (1989) atau dimensi perencanaan bahasa dalam
pendidikan yang mengembangkan fokus LPP dengan memasukkan pembelajaran dan
pengajaran bahasa. Ini diikuti oleh perencanaan wibawa Haarmann (1990), yang
sangat signifikan pada saat dia menguji penerapan LPP dari perspektif penerima
dan menyatakan bahwa keberterimaan produk LPP dan sikap penerima terhadap
produk adalah pertimbangan penting, memberikan peningkatan ke arah yang lebih
mendasar, tapi faktor yang kurang jelas di LPP - aspek psikologi dan tindakan
manusia dibutuhkan untuk mencapai hasil perencanaan yang diinginkan.
Kaplan dan baldauf
(2003) menyarakan dua dimensi lainnya yang dibutuhkan untuk menguji tujuan dan
pendekatan LPP, yaitu kegiatan perencanaan dapat jelas atau tidak (eksplisit
atau implisit) dan dapat terjadi pada rangkaian kesatuan yang ditandai oleh
tiga tingkatan: makro, meso dan mikro. Agen perorangan bisa jadi perspektif
yang bermanfaat untuk menyelidiki dampak perencana bahasa pada efektifitas LPP.
Asal
Usul dan Kategorisasi Aktor: Menuju Agen Individu
Walaupun menjadi
salah satu bidang utama penelitian LPP dalam kaitannya pemastian kesuksesan
perencanaan bahasa, aktor sebelumnya hanya mendapatkan perhatian sporadis oleh
peneliti, ketika bidang ini mulai mempunyai bentuk. Usaha serius di awal mula
munculnya isu aktor dimulai dari sekumpulan artikel oleh Rubin dkk tahun 1977.
Isu yang dibawa adalah Hebrew Academy dan Perencanaan Bahasa di India
yang berkenaan dengan peran, sikap kerja dan tugas yang ditemuka di berbagai
organisasi LPP dibawah pemerintah, kualifikasi pendidikan dan latar belakang
individu organisasi. Baldauf (1982) adalah salah satu cendikiawan yang menandai
pentingnya aktor dalam karyanya tentang American Samoa. Cooper (1989)
melakukan usaha serius pertama untuk melihat aktor dari perspektif perorangan.
Meminjam konsep dari pembuat kebijakan dalam ilmu politik, dia membedakan 3
bagian aktor:
·Para elit formal yang mempunyai kekuasaan untuk membuat
kebijakan - presiden, pemerintah, senator, wakil kongres, kepala eksekutif
pelaksana, kepala sekolah, guru dan seterusnya;
·Orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat yang mempunyai
ketertarikan dalam kebijakan dan melakukan yang terbaik untuk mempengaruhi
pembentukan kebijakan.
· Pihak berwenang:
pihak pembuat kebijakan.
Ricento dan
Hornberger (1996) membandingkan LPP ke tiga lapisan - nasional/makro (penentu
utama), institusional (sekolah, LSM, media, lembaga), dan interpersonal -
mendiskusikan tingkat dimana lapisan tersebut terlibat dalam perkembangan dan
penerapan LPP.
Mendiskusikan
bagaimana LPP berhubungan secara umum dengan perencanaan pemerintah, Kaplan dan
Baldauf (1997) melihat LPP sebagai subkateogri dari perencanaan pengembangan
SDM. Mereka membagi aktor menjadi empat kategori, yaitu agen pemerintah, agen
pendidikan, organisasi non pemerintah dan organisasi lainnya yang naturalnya
dari atas ke bawah (top-down). Cooper (1989) menjumlah dua belas
pengertan LPP yang dijelaskan kembali oleh Grin (2003) sebagai sistematis,
rasional, usaha berbasis teori pada tingkat masyarakat untuk merubah lingkungan
linguistik dengan pandangan untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini biasanya
dilakukan oleh badan resmi atau sepadan dan ditujukan untuk sebagian atau
seluruh populasi yang berada di wilayah hukum mereka.
Sejak tahun 1990,
model dominan literatur penelitian LPP telah ditentang ketika peneliti LPP
mulai menguji penerapan LPP dari perspektif penerima. Shingga tahun 1989 Cooper
mendefinisikan perencanaan bahasa sebagai usaha cermat untuk mempengaruhi
tindakan lainnya mengenai pemerolehan, susunan, atau alokasi fungsional dari
kode bahasa mereka.
Ager (2001)
mengidentifikasi tiga kategori aktor utama dalam pembentukan kebijakan:
perorangan sebagai penguasa yang kuat dan pemimpin opini, kelompok elit, dan
negara. Van Els (2005) mengamati bahwa dalam pemebntukan kebijakan pengajaran
dan pembelajaran bahasa kedua nasional, daripada otoritas sekolah, otoritas
wilayah dan atau lokal, inspektorat sekolah, dan pemerintah nasional, agen
penentu keputusan paling jelas adalah siswa, orang tua atau pengasuh, dan guru.
Liddicoat dan Baldauf (2008) menyatakan bahwa tidak ada kebijakan makro dapat
diberlakukan langsung dan tanpa perubahan ke konteks lokal. Orang-orang yang
termasuk dalam tingkat mikro meliputi:
·Perorangan yang bekerja untuk menghidupkan kembali atau
mempromosikan penggunaan bahasa;
·Organisasi bahasa yang berperan penting pada LPP lokal untuk
komunitas kecil;
·Institusi resmi, yang tidak seharusnya di bidang bahasa; dan
·Kelompok pendidikan komunitas, yang mungkin berperan
penting.
Peran
Aktor dalam Penerapan Tujuan Perencanaan Bahasa
Zhao dan Baldauf
(2008) mengkategorikan agen aktor ke dalam empat tipe:
1.Orang dengan kekuasaan. Orang-orang yang menjabat di
kedinasan. Pengaruh mereka pada tubuh LPP dari kekuaatan hukum, secara resmi
atau de facto.
2.Orang dengan keahlian (ahli linguistik dan linguistik
terapan, ilmuwan, ara ahli, dan orang-ornag yang sangat profesional di bidang
mereka, yang ikut serta dalam LPP.
3.Orang yang berpengaruh (elit sosial, cendikiawan, ilmuwan
yang tidak berhubungan dengan LPP, penulis terkenal, pemimpin agama, pebisnis,
seniman, pengacara HAM, atau kelompok ad hoc dan seterusnya.
4.Orang yang berkepentingan (masyarakat kalangan umum yang
secara tidak langsung ikut serta dalam pengambilan keputusan penggunaan
bahasa).
Zhao dan Baldauf
(2008) membentuk lima tingkat langkah sejajar untuk mencapai tujuan perencanaan,
yang dinamai I-5.
1.Inisiasi. Masalah harus ditampakkan dan politikus percaya
bahwa masalah membutuhkan perhatian dan berharga untuk diatasi. LPP bertujuan
untuk meluruskan permasalahan bahasa dengan kepentingan politik.
2.Keikutsertaan. Sejalan dengan perencanaan korpus haugen
(1983) keikutsertaan berarti partisipasi dalam langkah kodifikasi dan
penjabaran.
3.Pengaruh. Tahap ini berhubungan dengan perencanaan wibawa
Haarmann (1990). Wibawa sebelunya tidak menekankan tahapan, merupakan tahap
mandiri dari keempat tahap karena tidak berdasarkan aktivitas di lingkup
perencanaan korpus dan status. Di dalam perencanaan, wibawa bergerak sendiri.
4.Campur tangan. Ini terjadi ketika perencanaan membelok dari
wacana atau ketidaksesuaian selama penerapan, baik penyesuaian positif karena
masalah yang muncul membutuhkan mediasi, atau negatif karena campur tangan
politik.
5.Penerapan. Tahapan eksekusi dari keputusan dilabeli
perencanaan status dan pengolahan bahasa di dalam kerangka Haugen (1983). Tahap
penerapan lebih cenderung dengan prses daripada pengambilan keputusan.
Tahapan tersebut
tidak mempunyai batasan yang jelas ataupun membutuhkan alur logika menimabng
situasi terkini tidaklah selalu sama dan statis.
Aktor
di Empat komponen klasik LPP
Model I-5 mengenalkan
kategori baru untuk aktor dan komponen LPP, paparan berikut fokus pada elemen
aktor menggambarkan bagaiman keempat aktor saling bekerja dengan komponen
klasik, yaitu perencanaan status, perencanaan korpus, perencanaan pemerolehan
dan perencanaan wibawa, dengan tujuan mengidentifikasi pola atau tendensi
spesifik ke kelompok tersebut.
Aktor
di Perencanaan Status
Ketika sebuah negara
baru merdeka, para pencetus melakukan perencanaan status (inisiasi) untuk
menentukan bahasa sebagai sistem komunikasi terpusat. Isu bahasa banyak
didiskusikan dan diperdebatkan oleh orang-orang berpengaruh dan berkeahlian.
Baldauf dan Kaplan (2003) menunjukkan kasus Jepang yang memperlihatkan betapa
beresikonya perubahan tanpa konsultasi dengan para ahli. Kebijakan bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua resmi Jepang ditinggalkan ketika Keizo Obuchi
meninggal di tahun 2000 karena ketiadaan peran ahli bahasa di dalamnya.
Aktor
dalam Perencanaan Korpus
Perencanaan korpus
utamanya berkenaan dengan linguistik dan bagian dalam bahasa sehingga
membutuhkan keahlian teknis yang secara eklusif diisi oleh ahli bahasa terapan
dan para professional LPP, walapun tidak menutup kemungkinan para pemangku
kepentingan juga terlibat didalamnya. Seperti misalnya pada penyederhanaan
huruf China (324 huruf) oleh pemerintahan partai nasional.
Aktor
di Perencanaan Bahasa dalam Pendidikan
Kaplan dan Baldauf
(2003) percaya bahwa delapan proses kebijakan adalah elemen kunci kesuksesan
penerapan program bahasa. Proses tersebut adalah kebijakan akses, kebijakan
personal, kebijakan kurikulum, kebijakan bahan dan metode, kebijakan sumber
daya, kebijakan komunitas, kebijakan evaluasi, dan kebijakan guru.
Pendidikan bahasa adalah domain yang paling
rentan untuk perencanaan, dimana guru adalah produk kebijakan dan siswa sebagai
penerima paket tersebut. Haugen (1983) mengatakan bahwa sepanjang kelompok elit
dapat memonopoli pendidikan, penerapan menjadi relatif mudah. Pemangku
kepentingan dalam pendidikan bahasa adalah otoritas pendidikan, pegawai
pendidikan, ahli pengembang kurikulum, dan ahli linguistik pendidikan. Inovasi
dalam pedagogi dan pembelajaran beberapa bahasa menjadi pertimbangan kedua
dalam perencanaan bahasa dalam pendidikan. Guru dan pemerintah lokal diberikan
otonomi untuk dapat menjadi peserta yang aktif. Pengajaran luar sekolah dapat
berperan dalam tujuan kerjasama (perekanan), promosi, dan komersial, khususnya
dalam kebijakan akses. Contoh dari Cooper (1989) ketika mentri Israel
menghilangkan Bahasa Inggris dari kurikulum di tiga tingkat pertama sekolah
dasar karena dapat ditalangi oleh pengajaran non-mainstream sekolah,
kebijakan diserahkan kepada orang tua. Penyebab lainnya adalah karena
ketidakcukupan finansial. Akan tetapi, orangtua percaya bahwa kebutuhan untuk
menguasai bahasa Inggris di pendidikan tinggi sangatlah penting, sehingga
mereka meminta adanya pengajaran Bahasa Inggris di tingkat bawah.
Kebijakan akses
dibuat oleh pemerintah atau bagian pendidikannya untuk mencukupi kebutuhan
sosial, ekonomi, dan politik. Namun, dalam beberapa kondisi, orang-orang dengan
kepentingan dapat terlibat dalam kebijakan seperti yang dijelaskn Pakir (1994)
yang disebut perencana tak terlihat (invisible planners) di Singapura.
Hilangnya sekolah menengah Cina di Singapura adalah hasil keputusan invisble
planners. Pemerintah Singapura mengumumkan pembentukan sekolah berbasis
Cina jika memang ada permintaan yang memadai.
Aktor
di Perencanaan Wibawa
Berdasarkan Teori
Percontohan Bem (1970), tindakan linguistik mewakili penduduk yang berpengaruh
dan elit sosial berfungsi sebagai titik acuan seluruh masyarakat. Gaya
berbahasa yang dipraktikkan oleh tokoh publik menciptakan model berstatus
tinggi yang akan diikuti, sehingga menghasilkan peniruan spontan dan
penyebarluasan yang cepat. Kaplan dan Baldauf (2003) mencatat ada di Indonesia
bahwa penggunaan bahasa kreatif dari orang yang paling karismatik, Sukarno,
membentuk norma penggunaan berterima untuk bahasa nasional.
Issu Utama Aktor:
Konflik antara Aktor dan yang Terlibat
Aktor dapat berperan
di tingkat makro, meso, dan mikro secara terselubung atau terbuka. Konflik yang
terjadi antara aktor dan orang-orang yang terlibat adalah hal yang lumrah dalam
kegiatan LPP. Bahkan, usaha LPP biasany dimulai karena adanya konflik sehingga
memaksa perencanaan bahasa. Fishman (2973) menekankan bahwa perencanaan bahasa
menjadi lebih sulit karena menyangkut nilai kemanusiaan, emosi, dan kebiasaan
dibandingkan dengan perencanaan komoditas ekonomi misalnya.
Konflik
diatara Aktor
Konflik antar aktor
seringkali didasarkan pada kepentingan fraksi/kelompok/partai politik yang
kadangkala sampai ke tindakan anarki. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
anggota legislatif yang ikut serta dalam menentukan kebijakan mengedepankan
kepentingan fraksi baik secara wilayah maupun ekonomi.
Tensi
Hubungan antara Perencana dan Pengguna
Tensi hubungan antar
perencana dan pengguna bisa mengarah ke bencana sosia ketika isu SARA ikut
serta. Contohnya pergerakan anti-Hindi yang mengakibatkan peristiwa berdarah
dalam konflik perencanaan bahasa. Lainnya, kesalahan dalam kebijakan bahasa Udu
di Bengali 1952 yang mengakibatkan perpecahan negara menjadi Pakistan dan Bangladesh.
Konflik yang terjadi
antara aktor dan populasi target karena adanya pemurnian bahasa. Banyak contoh
kasus yang menunjukkan kekurang toleranan terhadap variasi bahasa atau usaha
yang berlebihan dalam konteks kultural dan sosial yang kompleks dan tajam. Salah
satu bentuk konflik ekstrem antara aktor dan pengguna adalah tuntutan bahasa
melalui hukuman fisik dan penghinaan publik. Yang akhirnya menyebabkan
penghilangan bahasa lokal di sekolah. Tiga kasus yang diakibatkan dari konflik
aktor dan pengguna adalah bahasa Inggris “Welsh Not”, Bahasa Cina “Dunce
Board” dan Bahasa Spanyol “Basque Stick”. Di “Welsh Not” and
“Dunce Board”, anak-anak yang menggunakan bahasa terlarang tersebut
dihukum dengan mengenakan papan yang dikalungkan di leher.
Tensi
Hubungan antara Perencana dan Klien
Tanggungjawab aktor
adalah menjelaskan penyelesaian terbaik untuk mencapai tujuan perencanaan,
sedangkan tanggungjawab klien (untuk siapa perencana bekerja) adalah menerapkan
penyelesaian ini. Bentuk lain dari tensi hubungan adalah yang dijelaskan Kaplan
dan Baldauf (1997) yang disebut dnegan “abuse of agency” – agency
merujuk klien. Informasi “yang tidak diinginkan” seringkali dipinggirkan atau
dihilangkan di banyak kasus otoritas sebenarnya tidak mau saran mandiri sesuai
dengan analisis cermat situasi/adat, jika hasil dari analisis tersebut tidak
sesuai dengan gagasa prasangka tentang
situasi bahasa.
Perencanaan bahasa
adalah usaha sadar, berkelanjutan, jangka panjang, dan resmi pemerintah untuk
mengubah fungsi atau bentuk bahasa di dalam masyarakatbertujuan untuk menyelesaikan permasalahan
bahasa. Bidang ini mengkaji bahasa sebagai sumber bermasyarakat; sehingga
kebijakan dibuat sebagai dasar pelestarian, pengaturan, dan pengembangan
bahasa. Perencanaan bahasa, tentang pengembangan SDM, berkenaan dengan
pertanyaan siapa yang berhak untuk melakukan apa kepada siapa untuk tujuan apa
denga juga mempertimbangkan hubungan siapa menerima ketentuan perencanaan apa
dari siapa dan sesuai kondisi apa. Copper meringkasnya dengan istilah skema
akuntansi untuk mempelajari perencanaan bahasa: (i) siapa aktornya, (ii)
berupaya untuk mempengaruhi perilaku apa, (iii) orang yang mana, (iv) untuk
tujuan apa, (v) sesuai kondisi apa, (vi) dengan cara apa, (vii) melalui proses
pengambilan keputusan apa, (viii) dengan akibat apa.
Tollefson berpendapat
bahwa solusi dari penyelesaian permasalahan bahasa yang dihadapi perorangan
harus dimulai dengan sejarah sosial pemerintahan dalam taraf mikro
antarperseorangan atau makro dari pembentukan bangsa. Ruang lingkup Cooper
dapat diterjemahkan dalam persoalan perencanaan status yang mengatur hubungan
kekuatan bahasa dan penggunanya (status planning) yang disebut juga “the
linguistic market place”, atau perubahan kondisi internal bahasa pada
bentuk ejaan, pengucapan, kosakata dan tata bahasa (corpus planning) ,
atau keduanya.
Ada dua kategori
perencanaan bahasa lainnya oleh Cooper dan Haarmann yang dikenal perencanaan
pemerolehan (acquisition planning) dan perencanaan wibawa (prestige
planning). Perencanaan pemerolehan bertujuan untuk meningkatkan pengguna
bahasa dan perencanaan wibawa menentukan keberhasilannya. Haugen menjabarkan
empat pilar perencanaan bahasa: (1) pemilihan norma; (2) kodifikasi norma; (3)
penerapan fungsi bahasa; dan (4) penjabaran fungsi bahasa. Pilar 1 dan 3
termasuk dalam perencanaan status, sedangkan 2 dan 4 termasuk perencanaan
korpus. Keberhasilan perencanaan bahasa didasari pada kemampuan meyakinkan
sikap-sikap negatif ke arah pembenaran perencanaan yang diajukan. Grin
menambahkan bahwa perencanaan bahasa erat kaitannya dengan isu sosial,
kebahasaan, politik, dan ekonomi.
Perencanaan Bahasa
dan Teori Kritis
Tollefson menjelaskan
kebijakan bahasa kritis sebagai sebuah pendekatan perencanaan bahasa yang dengannya
sistem ketimpangan dibentuk dan dipertahankan melalui bahasa. Ahli bahasa
bergulat di area ini bertanggungjawab tidak hanya memahami seberapa dominan
sebuah kelompok sosial menggunakan bahasa untuk membentuk dan merawat strata
sosial, tetapi juga menyelidiki cara-cara untuk mengubah strata tersebut.
Contohnya adalah
laporan yang dibuat oleh Kamwangamalu tentang usaha mengganti bahasa penjajah
dengan bahasa lokal yang gagal karena penyalahgunaan kekuasaan. Bahasa lokal
secara teoritis diperlakukan sama dengan bahasa penjajah, tetapi tidak boleh
digunakan dalam situasi penting. Sama halnya dengan Sibayan yang memberi
catatan pada bahasa pilipino yang digunakan sebagai pengantar untuk ilmu
pengetahuan dan capaian prestasi perorangan sehingga mendapatkan kesetaraan
dengan bahasa Inggris.
Perencanaan Bahasa
dan Teori Permainan
Teori permainan
berkenaan dengan tindakan rasional dalam pengaturan sosial yang sangat riskan
dengan konflik kepentingan. Konflik kepentingan setiap kelompok yang akhirnya
bertemu tanpa adanya perubahan tindakan. Pada akhirnya menunjukkan keberhasilan
atau kegagalan perencanaan bahasa di berbagai situasi sosial. Penelitian untuk
membentuk kebijakan pada negara banyak bahasa menunjukkan bahwa masyarakat
dengan bahasa ibunya adalah bahasa nasional masuk dalam formula 3 – 1,
sedangkan bahasa ibunya adalah bahasa lokal masuk dalam formula 3 + 1.
Perencanaan Bahasa
dan Ekonomi Bahasa
Secara tradisional,
Grin mencatat bahwa wacana kebijakan bahasa mengandalkan tiga sudut pikiran:
yang legal, mendasarkan hak berbahasa dalam konteks tertentu; yang budayawan,
mendasarkan bahasa adalah perwujudan budaya sehingga membatasi kebijakan
intimidasi korpus atau mendukung untuk pembentukan literasi atau publikasi; dan
secara pendidikan, berpusat pada pengajaran bahasa. Ekonomi bahasa berpusat
pada teori dan telaah ilmiah dimana bahasa dan ekonomi saling mempengaruhi.
Beberapa isu tentang ekonomi bahasa antara lain:
·Relevansi bahasa sebgai alat penjabaran proses ekonomu
seperti produksi, distribusi, dan konsumsi;
·Relevansi bahasa sebagai komoditas dalam pemerolehan alasan
bagus untuk investasi;
·Pengajaran bahasa sebagai investasi sosial, menguntungkan
(pasar ataupun tidak);
·Implikasi ekonomi (modal dan keuntungan) dari kebijakan
bahasa (pasar ataupun tidak).
Grin membuat daftar isu
pembelajaran dalam ekonomi bahasa: efek bahasa terhadap pendapatan,
pembelajaran bahasa oleh imigran, perbaikan pola bahasa dan penyebaran di
masyarakat banyak bahasa, pemilihan dan pembentukan kebijakan bahasa, promosi
dan pelestarian bahasa minor, penggunaan bahasa di tempat kerja, dan
keseimbangan pasar untuk layanan dan barang khusus bahasa. Bourdieu mengatakan
bahwa semakin banyak modal kebahasaan maka semakin besar exploitasi yang bisa
mengamankan perbedaan keuntungan. Disnilah diperlukan kehati-hatian dalam
membentuk kebijakan bahasa. Kebijakan bahasa dianggap sukses apabila bisa
mendongkrak ekonomi.
Bahasa sebagai
komoditi ekonomi dijabarkan oleh Fishman pada aktivitas “Basquecization”
di Spanyol. Promosi bahasa Basque berhasil karena memberikan dampak positif ke
ekonomi dengan mengeluarkan sertifikat tingkat kompetensi berbahasa, syarat kualifikasi
promosi, kenaikan gaji, masa kerja dan syarat kesuksesan di dunia kerja. Gibson
Ferguson melakukan studi perbandingan bahasa Welsh dan Breton, kebangkitan
bahasa Welsh dan penolakan bahasa Breton dikarenakan perbedaan faktor
politik-sosial dan ekonomi.
Perencanaan Bahasa
dan Teori Manajemen Bahasa
Telah dijabarkan
sebelumnya bahwa perencanaan bahasa adalah bidang multi dimensi; linguistik dan
sosiolinguistik, ekonomi dan politik terintegrasi dalam bahasa di masyarakat. Manajemen
bahasa dipahami sebagai serangkaian aktivitas yang dibentuk untuk mencapai
tujuan kebijakan bahasa. Pendekatan ini diartikan sebagai proses top-down,
yaitu kebijakan apa yang paling mendunia.
Jernudd and Neustpny
mengartikan manajemen bahasa sebagai bagaimana mengunakan bahasa, tetapi juga
bagaimana berinteraksi dengan bahasa. Sebagai bahan penyelidikan bahasa,
manajemen bahasa dilihat sebagai proses (1) penutur/penulis dan
pendengar/pembaca tanpa sadar tidak hanya memeriksa penggunaan bahasa menentang
norma yang mereka punya tetapi juga mencatat penyimpangan yang terjadi, (2)
mengevaluasi penyimpangan dan membentuk ketidakcakapan, (3) merencanakan
penyesuaian untuk memperbaiki penyimpangan yang dibutuhkan berdasarkan norma,
dan (4) melengkapi proses ketika menerapkan penyesuaian yang direncanakan.
Metode Perencanaan
Bahasa
Observasi Etnografi
Etnografi adalah
studi yang utamanya berhubungan dan secara tradisional dengan proses
antropologi dari menjelaskan dan menganalisaseluruh budaya. Ruang lingkup
etnografi dikatakan holistik/menyeluruh bukan karena ukuran/jumlah unit studi,
komunitas, sebuah institusional, kelas atau rumah, tetapi karena unit analisa
dipertimbangkan secara analitik secara keseluruhan. Hymes menyebutkan bahwa
etnografi adalah pendekatan yang menghubungkan antara bahasa dan budaya.
Etnografi adalah metode untuk pengumpulan data dalam isu yang besar seperti codeswithing,
sikap bahasa, atau bahasa dan identitas. Metode ini meliputi berbagai prosedur
pengumpulan data, diantaranya observasi, wawancara, pemetaan dan pola diagram
direkam dari catatan lapangan, analisis interaksi, studi tentang rekam sejarah
dan dokumen publik, menggunakan data demografis, studi kasus, kasus sejarah,
atau pola komunikasi perekaman video.
Canagarajah mencatat
bahwa penelitian etnografi dapat menyajikan timbal balik dalam berbagai tingkat
perencanaan bahasa – sebelum, selama, dan sesudah penerapan. Sebelum penerapan,
etnografi menyediakan informasi penting pada persoalan sperti sikap kelompok
target terhadap perencanaan bahasa, atau pentingnya identitas dan komunitas.
Selama penerapan, etnografi menjelajahi bagaimana perbedaan fungsi agen dan
institusi dalam mempromosikan kebijakan. Setelah penerapan, etnografi menguji
konsekuensi perencanaan bahasa untuk komunitas target dan berbagai komunitas.
Pentingnya etnografi pada perencanaan bahasa untuk mencari jawaban pada
pertanyaan pilihan bahasa yang juga jantung perencanaan bahasa: siapa
menggunakan apa variasi bahasa, dengan siapa, tentang apa, di keadaan apa,
untuk tujuan apa?
Survey Bahasa
Umumnya, bahasa
menggunakan survey terdiri atas kuisioner yang bertujuan untuk menentukan sikap
penutur terhadap bahasa yang tersedia, maupun bahasa yang peutur gunakan kapan,
dimana, dengan siapa, dan untuk tujuan apa. Survey sosiolinguistik mencari jawaban
seperti berikut: pada bahasa apa seseorang membaca surat kabar, mendengar
berita, memanggil orang tua/ sejawat/ saudara kandung/ anak-anak/ pembantu/
pasangan, dan sebagainya. Whitley menyatakan survey kelas menunjukkan peran
penting guru dalam perencanaan bahasa. Beberapa sarjana skeptis tentang
kemapanan survey bahasa untuk mengukur penggunaan bahasa. Labov mengamati bahwa
survey bahasa umumnya mewakili penyelidik daripada teori pembicaraan pengguna.
Analisa Geolinguistik
Geolinguistik
didefinisikan sebagai cabang dari geografi manusia yang berkenaan dengan
konteks ruang-sosial dari penggunaan bahasa dan pemilihan bahasa, khususnya
ketika bersinggungan dengan kelompok mayoritas, untuk menghindari pengurangan
dan penghilangan bahasa dari identitas dan budaya kelompok minoritas.
Pertanyaan kunci yang
ahli geolinguistik cari jawabannya yang berpusat pada perencanaan bahasa,
yaitu, siapa berbicara bahasa apa, dimana, kapan dan mengapa. Dengan
menyelidiki pertanyaan ini, ahli geolinguistik bertujuan untuk membuka domain
dimana minoritas bahasa digunakan dan tidak digunakan, dan menginformasikan
kebijakan bahasa menuju pengesahan hak bahasa minoritas dan pengembangan domain
untuk penggunaan eksklusif bahasa minoritas.
Dalam usaha untuk
membahasa paham multikultural dan pertanyaan yang menyoroti di paragraf
sebelumnya, ahli geolinguistik melihat pola pergerakan dan koneksi manusia
maupun proses historis yang telah berkontribusi pada pola ini dan perubahan hal
yang bersamaan di komposisi etik dan penggunaan bahasa. Perencanaan bahasa harus dibentuk untuk
membuat bahasa minoritas bersumbangsih padaetnis minoritas sebanyak bahasa mayoritas lakukan kepada populasi pemerintah,
seperti pada partisipasi politik dan akses ke ketenagakerjaan dan sumber
ekonomi.
Saat menggunakan bahasa, ada orang yang kurang peduli dengan
ungkapan atau bahasa yang digunakan dan ada yang sangat detail mempertimbangkan
setiap aspek ungkapan atau kalimat yang disampaikan. Pertimbangan bahasa
tersebut antara lain sensitivitas bahasa terhadap ungkapan, pengubahannya dan
pada beberapa kesempatan menindaklanjuti pemikiran tersebut. Hal-hal
tersebutlah yang membawa perubahan pada perencanaan bahasa dan kegiatan sastra.
Kaplan dan baldauf (1997, p.3) menyatakan bahwa satu atau lebih komunitas bisa
memanipulasi bahasa melalui perencanaan bahasa sebagai ide utama, perundangan
dan peraturan (kebijakan bahasa), perubahan aturan, kepercayaan, dan praktik.
Perencanaan
bahasa mendapatkan tanggapan negatif di tahun 1960an. Sikap negatif terhadap
perencanaan bahasa yang muncul pada saat itu jelas sarat dengan kepentingan
politik secara praktis karena dipandang sebagai kajian interdisipliner yang
bertentangan dengan konsep-konsep linguistik dan pondasi ideologis
strukturalis. Hall (1950) menyatakan bahwa perubahan bahasa harus dianggap
sebagai suatu kejadian alamiah, bukan rekayasa yang dipengaruhi atau dibentuk
oleh interferensi dengan slogan leave your language alone. Tanggapan positif terhadap perencanaan bahasa muncul saat Rubin dan
Jenudd (1971a) menulis buku berjudul Can Language Be Planned? dan saat Fishman menulis buku berjudul Do Not Leave Your Language
Alone di tahun 2006. Pada
akhirnya perencanaan bahasa berkembang menjadi salah satu disiplin ilmu yang
membentuk ilmu sosiolinguistik, selanjutnya berkaitan erat dengan perkembangan
berbagai disiplin ilmu lainnya. Pembahasan pada bab ini menjabarkan perencanaan bahasa
dalam konsep menajemen bahasa sebagai ilmu interdisipliner dan dalm aspek aspek
linguistik yang menentang dasar teori umum bahasa (Neustupny (1978) atau
Harmann (1990). Bagian berikut ini mengingatkan kembali 4 sistem sosial lainnya
dalam perencaan bahasa belakangan ini yang merupakan leluhur perencanaan bahasa
modern.
Contoh sejarah
Neustupny (2993, 2006) menjelaskan perencanaan bahasa
sebagai praktik sosial dalam empat tahap: Sebelum Modern, Awal Modern, Modern
dan Setelah Modern. Tahapan tersebut didasarkan pada pola-pola pada fenomena
sosial budaya sehingga membentuk konsep tipe-tipe perkembangan bahasa dan bisa
saja terjadi bersamaan.
Akademi Perancis (1634): (akhir)
Tipe Sebelum Modern
Akademi Perancis lahir setengah abad setelah Lembaga bahasa
‘Italia’. Lembaga ini diprakarsai oleh Cardinal Richelieu ketika para elit
Eropa mulai menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian yang kemudian
membentuk bahasa Latin. Richelieu ingin menguatkan persatuan bangsa melalui
penyatuan pada masa penstabilan kembali Perancis. Tujuan dari akademi Perancis
adalah pembentukan kejelasan aturan bahasa dan membuatnya menjadi murni,
berterima, dan mampu membahasakan ilmu pengetahuan dan seni (dikutip dari
Cooper, 1989, p.10) melalui penerbitan tata bahasa, kamus, petunjuk bahasa
retorik dan puisi. Praktik-praktik yang ada di Akademi Perancis menjadi
percontohan bagi lembaga serupa yang muncul di Eropa, contohnya di Swedia.
Perencanaan bahasa menjadi sebuah disiplin ilmu (perencanaan bahasa klasik)
ketika dapat membaur dengan kondisi sekitar, tapi tidak terpengaruh oleh
buruknya sistem kolonial tahun 1960an.
Pergerakan Nasional Bangsa Eropa
abad 19: Perencanaan Bahasa Tipe Awal Modern
Menurut Herdian, pergerakan ini menyebabkan pembentukan
bangsa-bangsa modern (Slovakia, Ceko, Norwegia, Finlandia, dan lainnya) yang
sebelumnya ditekan oleh bangsa-bangsa kuat dalam satu kelompok heterogen yang
cenderung berorientasi pada budaya dan linguistik daripada politik dan sosial
(lihat Hroch, 1998). Contohnya adalah tulisan Ivar Aasen (183-1896) tentang
paradigma program perencanaan bahasa. Situasi latar belakang, tujuan program,
tujuan kebijakan, dan prosedur penerapan kebijakan adalah hal-hal yang harus
diperhatikan dalam analisis dan evaluasi berbagai program bahasa. Tujuan dari
program ini adalah mengganti bahasa Denmark dan menggunakan norma dialek
sebagai dasar awal bahasa Norwegia.Di Ceko, pergerakan nasional diawali oleh
sarjana Slavic Studies Josef Dobrovsky (1753-1829) yang mengkodekan norma
bahasa Ceko humanistik menjadi standar bahasa dalam sebuah tata bahasa di tahun
1809. Kedua peristiwa tersebut menjadi pokok perubahan yang berpengaruh pada
penutur dan penulis.
Perencanaan bahasa di era modern awal ditandai dengan
pemilihan jenis bahasa yang dibakukan dan kosakata yang cenderung seputar
keilmuan dan seni. Semisal pada pergerakan nasional Ceko, patriot generasi
kedua yang dipimpin oleh Josef Jungmann (1773-1847) merangkum leksikon menjadi
kamus bahasa Jerman-Ceko sebanyak 5terbitan (1834-1839).
Perserikatan Soviet 1920an dan
1930an: Sebelum dan saat modern
Di masa itu, Perserikatan Soviet mempunyai ratusan suku/ras
dengan beragam perkembangan bahasa yangsebagian besar hanya dalam bentuk lisan. Ajaran Leninis (politik
komunis) memberikan hak kepada suku/ras untuk menggunakan bahasa mereka di
persekolahan. Ketidakinginan untuk mengikuti huruf Cyrillic yang disebarkan
oleh bangsa Rusia pada masa itu mendorong Perserikatan Soviet untuk melakukan
perencanaan bahasa sendiri yang disebut “Pembangunan Bahasa”; pembuatan 10
huruf baru, tatanan ejaan, pembaharuan sebagian besar bahasa, istilah, buku
bacaan permulaan, dan lain-lain. Alpatov menyebutkan ada lebih dari 70 huruf
dibuat untuk bahasa perserikatan Soviet di periode ini. Para ahli bahasa
mendorong perkembangan struktur bahasa dan mengkombinasikan bahasa dengan teori
phonologi. Di sisi lain, paham Marxis menyekat perencanaan bahasa pada
penekanan sudut pandang sosial dan kritik terhadap linguistik strukturalis yang
menkerdilkan hal-hal yang mempengaruhi bahasa. Pendekatan dan kegiatan dalam
perencanaan bahasa Soviet 1920an dan pertengahan 1930an termasuk dalam
“perencaan bahasa klasik”.
Aliran Bahasa Praha dan
Cekoslovakia 1920an dan 1930an
Perencanaan bahasa ini menjadi contoh bagus dari tipe
Modern- tidak berpusat pada masalah sosial, melainkan masalah detail dan alih
bentuknya. Negara Cekoslovakia adalah pecahan dari Kekaisaran Hapsburg, terdiri
dari berbagai ras yang saling berselisih, memiliki teori Aliran Praha yang
mendasari perencaanaan bahasa untuk membentuk bahasa baku bagi sebagian besar
bangsa Ceko. Teori aliran Praha berbentuk pengolahan bahasa kemudian diakui dan
diterima pada “Perencanaan Bahasa Klasik”. Istilah-istilah yang paten pada
pendekatan ini antara lain norma, fungsi, intelektualisasi dan kemapanan yang
luwes pada bahasa baku. Pendekatan pengolahan bahasa dan kebijakan adalah dua
pendekatan dasar untuk perencanaan bahasa yang digunakan pada beberapa bahasa
minoritas di Eropa.
Perencanaan Bahasa Klasik dan
Haugen
Kesadaran untuk
menindaklanjuti permasalahan bahasa menjadi satu disiplin ilmu mulai marak di
negara-negara dunia ketiga oleh sebab bantuan dari negara-negara dunia pertama (akademi
Amerika) setelah Perang Dunia II yang menandai runtuhnya jaman kolonial sebagai
salah satu modal perkembangan dan modernitas. Kajian utama yang termasuk dalam
“Perencanaan Status” meliputi bagian sosial budaya (Nasionalisme) dan politik
(Kebangsaan) dan rancangan literasi yang terkait. Selain itu, ada perencanaan
perkembangan bahasa yang mengarah pada pembentukan bahasa itu sendiri yang
disebut “Perencanaan Korpus” bertujuan grafisasi, kebakuan dan pembaharuan
kosakata bahasa. Dari sinilah muncul disiplin yang lebih khusus sekaligus umum,
sosiolinguistik, yang dipahami sebagai induk dari disiplin ilmu perencanaan
bahasa. Haugen mencatat perencanaan bahasa menjelaskan kegiatan persiapan
ortografi/ejaan normatif, tata bahasa, dan kamus sebagai petunjuk penutur dan
penulis di dalam kelompok (logat) bahasa yang beragam. Penerapannya dalam ilmu
linguistik tidak hanya secara deskriptif, tetapi juga pilihan bentuk-bentuk
linguistik.
Perencanaan menunjukkan alur pikir
memprediksi masa depan berdasarkan pengetahuan yang ada di masa lalu yang
ditunjang dengan sudut pandang personal. Istilah “perencanaan” dalam bahasa
membentuk cabang ilmu baru yang dikenal “perencanaan sosial” yang kemudian
diperjelas pada level teoritis di ilmu sosial barat dan diterapkan dalam
kebijakan dan ekonomi di beberapa negara. Haugen juga menghubungkan
perkembangan perencanaan bahasa dengan “teori keputusan” waktu itu dan
mengejewantahkan secara detail hal-hal penting “prosedur pengambilan keputusan”
untuk perencanaan bahasa. Anasir yang terkandung adalah masalah yang akan
diselesaikan, pembuat keputusan dan metode penerapan. Penyelesaian
masalah-masalah bahasa pada akhirnya mempunyai andil pada kesejahteraan ekonomi
negara. Perencanaan bahasa dapat dipandang dari dua sisi. Yang pertama
sebagai disiplin ilmu dan yang kedua sebagai variabel pengembangan teori khusus
dalam politik, sosial, dan ekonomi.
Kritik Perencanaan Bahasa Klasik
Di tahun 1980an, ada banyak kritik yang dilontarkan ke teori
perencanaan bahasa.
-Kegagalan proses modernisasi negara-negara berkembang
melalui perencanaan bahasa dikarenakan kurangnya pengaruh perencanaan bahasa
klasik terhadap keadaan yang sebenarnya.
-Rubin, pendukung
teori perencanaan bahasa klasik, mengkritik “model rasional” dengan mengakui
adanya berbagai “masalah jahat” dari keikutsertaan unsur-unsur yang tidak
diketahui tanpa adanya “aturan penghenti”.
-Cooper (1989) menolak konsep perencanaan bahasa sebagai
pemecahan-masalah dan mendefinisikan perencanaan bahasa sebagai usaha sadar
untuk mempengaruhi tindakan orang lain dengan memperhatikan pemerolehan bahasa,
susunan, atau alokasi fungsional kode bahasa tersebut.
-Jernudd (1997) memberikan catatan bahwa teori
sosiolinguistik dan penerapan di negara-negara berkembang meliputi situasi di
berbagai level pengembangan (dari negara ke perusahaan), kelompok populasi
(wanita ke pengungsi), berbagai tindak komunikasi (media, saluran media, dan
pengolahan informasi), perbedaan ideologi dan kenyataan, kondisi sosiopolitik
lokal dan global.
-Perkembangan awal perencanaan bahasa sangat erat kaitannya
dengan teori evolusi modernisasi berdasarkan fungsionalisme struktural Parson.
Pemutarbalikkan Perubahan Bahasa
dan Kritiknya
Era awal
modernisasi bahasa ditandai dengan penyatuan bahasa-bahasa (dengan bantuan
standarisasi) dan tekanan bahasa-bahasa Eropa terhadap keragaman linguistik di
negara-negara dunia ketiga. Perencanaan bahasa klasik, satu bangsa satu bahasa,
merupakan konsep dari negara modern eropa yang dibawa ke negara-negara
berkembang. Namun demikian, perencanaan bahasa pascamodern memberikan dukungan
pada variasi bahasa dan melindungi kemajemukan yang dipengaruhi oleh pendekatan
ekologi bahasa (Language Ecology) dan hak asasi
berbahasa (Linguistic human rights). Kemudian
berkembang model perubahan bahasa memutarbalikkan (Reversing Language Shift model) yang merangkul paradikma baru yang bermunculan, yaitu
ideologi, ekologi, dan perantara. Model ini muncul sebagai reaksi atas fakta-
fakta yang terjadi di dunia globalisasi kontemporer (sementara), banyak bahasa
terancam punah, yaitu membekukan refleksi teoritis dan panduan lapangan
pnecegahannya, atau di beberapa kasus, untuk menghidupkan kembali bahasa. Level
ancaman kepunahan bahasa terbagi dalam delapan skala.
Taraf
1: Bahasa potensial terancam masih
digunakan di bidang pendidikan, kerja, media masa, dan tingkat lebih tinggi,
bahkan tingkat negara (bagian);
Taraf
2: Bahasa terancam digunakan di tingkat
lebih rendah (media lokal dan kantor pemerintahan);
Taraf
3: Bahasa terancam di lingkungan kerja
lokal, dimana interaksi antar penutur bahasa minoritas dan mayoritas bahasa;
Taraf
4: Bahasa terancam digunakan sebaga
bahasa pengajaran di sekolah, kelonggaran atau kekerapan bergantung pada
pengajaran di bahasa mayoritas;
Taraf
5: Bahasa terancam digunakan untuk
pengajaran, tetapi tidak di pendidikan formal;
Taraf
6: Bahasa terancam digunakan di
lingkungan keluarga sebaga alat menyerahkan antar generasi sebagai tradisi dan
sehingga diturunkan dengan cara ini;
Taraf
7: Bahasa terancam digunakan oleh
generasi tua, yang sudah melampaui umur produktif manusia secara biologis;
Taraf
8: Bahasa terancam digunakan
(diketahui, diingat) hanya oleh beberapa penutur lebih tua.
Model pilihan lainnya adalah “Catherine Wheel” yang
digaungkan oleh M. Strubell yang menonjolkan individu sebagai pengguna dan
titik tolaknya adalah komponen-komponen berikut secara fungsional saling
berhubungan: (1) kompetensi bahasa individu, (2) penggunaan sosial bahasa, (3)
keberadaan produk dan jasa bahasa ini dan kebutuhannya, (4) semangat untuk
belajar dan menggunakan bahasa tersebut.
Bagan 52.1 Catherine Wheel
Tujuan dari perencanaan dan kebijakan bahasa adalah
mengetahui di komponen yang mana mengalami gangguan, and untuk memperbarui
dinamikanya melalui pengukuran yang sesuai.
Kerangka kerja Manajemen Bahasa
Teori/Kerangka/Model
Manajemen Bahasa (LMT) membatasi isi teoritis pada manajemen ungkapan
(metalinguistik), bukan padapembentukan
ungkapan (linguistik). Manajemen bahasa terjadi pada interaksi konkrit
perorangan atau institusi dari berbagai kompleksitas dan dengan itu
memungkinkan untuk membedakan simple management (manajemen berbasis
wacana, daring) dan organized management (manajemen langsung, luring).
Contoh dari simple management adalah ketika guru menggunakan bahasa
keseharian yang tidak biasa selama pelajaran bahasa asing dan segera
menghadirkan arti sepadan. Contoh dari organized management adalah
pembaruan bahasa atau pengenalan bahasa baru ke sistem sekolah. Tahao simple
management adalah sebagai berikut.
1.Penutur mencatat perbedaan/deviasi dari pembelajaran yang
diharapkan dari komunikasi;
2.Penutur dapat (tapi tidak harus) menilai perbedaan (jika
negaif berarti ketidakcukupan atau masalah, jika positif berarti kecukupan);
3.Sebagai reaksi penilaian, penutur dapat (tapi tidak harus)
membuat sebuah rancangan penyesuaian;
4.Penutur dapat (tapi tidak harus) menerapkan rancangan
penyesuaian.
Organized management dicirikan dengan
hal-hal berikut.
1.Tindakan manajemen bersifat trans-interaksional.
2.Sebuah hubungan sosial atau bahkan institusi dilibatkan.
3.Hubungan tentang manajemen terjadi.
4.Keikutsertaan penteorian dan kepercayaan.
5.Sebagai tamabahan pada bahasa sebagai wacana, objek dari
manajemen adalah bahasa sebagai sistem.
LMT telah digunakan,
diantara teori lainnya, pada analisis beragam aspek pemerolehan bahasa kedua
dan asing dan kompetensi interkultural secara umum. LMT juga berkembang dalam
penelitian yang berkenaan dengan pemerolehan kompetensi akademik.
Untuk memperkaya pengetahuan, berikut video diskusi dengan topik perencanaan dan kebijakan bahasa